Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar dari Fiksi? Mengapa Tidak?

12 Maret 2014   12:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:01 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi /Admin (shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Refleksi Fiksi. Ilustrasi /Admin (shutterstock)"][/caption]

Maniak baca. Kutu buku. Cengeng karena bacaan saya novel. Itu sudah sering saya dengar. Seseorang pernah berkisah dalam buku 36 Kompasianer merajut Indonesia. Anaknya belajar dari komik. Hello? Komik? Ya komik. Memangnya kenapa kalau belajar melalui komik? Haruskah belajar hanya dari buku teks yang setebal 30 cm?

Beberapa orang pernah menilai saya kekanak-kanakkan karena menggemari novel-novel Mira W, ada yang bilang juga tak Alkitabiah, waktu saya menyukai Kho Ping Ho.

Sebenarnya saya kasihan pada orang-orang yang menilai saya itu. Mereka kan tak tahu bahwa saya juga mencintai kitab suci saya. Masak saya mau baca kitab suci sambil jalan? Kalau baca novel kan bisa.

Sebenarnya ada beberapa level membaca.

Saya memulai membaca dari kesenangan. Majalah anak-anak hingga novel anak-anak. Karena senang membaca, akhirnya saya jadi tak lagi pilih-pilih genre bacaan jika ke WC. Kadang saya baca teksbook di WC. Serius. Daripada bosen mau BAB nunggu keluarnya lama, sambil baca kan asyik aja tuh.

Kesenangan membaca menaikkan level bacaan saya menjadi, membaca untuk informasi. Apa yang saya temukan di novel, atau  fiksi, saya gali dan cari, ini real-nya bagaimana? Misalnya: tulisan Mira W apa Marga T ya yang banyak nulis kehidupan dokter dan segala pernik-perniknya? Kata novel itu, maag bisa dicegah dengan minum air jika telat makan. Air menetralisir asam lambung, sehingga tidak naik dan menyebabkan iritasi. Penasaran, saya mencari tahu. Di sinilah, membaca tak lagi bermakna kesenangan, tetapi mencari informasi.

Tak berhenti sampai di situ, kini membaca saya sudah sampai di level, membaca untuk aplikasi. Artinya apa yang saya baca, saya refleksikan, mana yang bisa saya terapkan dalam kehidupan saya. Misalnya tadi soal air minum mencegah maag, saya coba. Hasilnya? Not bad. Sekurangnya saya tidak jadi lapar walaupun telat makan 30 menit-1 jam.

Saya tidak menyarankan ini ya. Serius. Ini hanya pengalaman saya. Oke?

Kembali ke membaca. Saya saat ini ingin berkisah tentang fiksi yang baru saya nikmati melalui FB. Kadang saya bingung bagaimana mengutarakan terimakasih pada penulis-penulis fiksi itu. Mbak Aurora Borealisa, mbak Indri Hapsari, yang konsisten berbagi karya fiksinya.

Saya baru membaca tentang kisah penumpang pesawat yang hilang. Kalau mau ngikutin sudah mulai diposting di Kompasiana. Saya sudah baca sampai selesai di FB gara-gara si K error nih. Tapi senang juga jadinya gak penasaran. Dibuat cerita bersambung soalnya. Saya belajar, bahwa cinta itu bisa mengekang nafsu. Walaupun tokoh X sudah mencintai tokoh Y, tetapi, ada kesadaran bahwa tokoh Y masih berkabung, memberi waktu untuk tetap menjaga kesucian tokoh Y. menarik, bahwa saat ini cinta selalu diidentikkan dengan nafsu.

Saya menyukai gaya tutur dan penyampaiannya. Cinta itu memberi lho, bukan menuntut. Ketika tokoh X diusir karena tokoh Y akhirnya menyadari bahwa tokoh X itu bukan suaminya melainkan adik suaminya yang sudah bertahun-tahun menjauh dari keluarga sendiri karena ‘kalah awu’ dengan suami tokoh Y ini. Menarik juga bahwa musibah mendekatkan keluarga. Musibah kehilangan suami tokoh Y membuat X kembali pada orang tua dan mau mengenal keluarga kakaknya. Bahkan menyayangi keponakan-keponakannya. Apa sih arti keluarga? Keluarga adalah ikatan bukan sekedar karena darah, tetapi karena cinta.

Belajar dari fiksi, mengapa tidak? Fiksi tak jarang dipetik dari realita kehidupan. Seorang fiksianer pernah bertutur bahwa karya fiksi-nya yang ini dan itu bersumber dari kehidupan si A atau si B. Kenapa tidak? Kita bisa lebih bijaksana jika mau belajar, dari semua pengalaman, baik orang lain maupun diri sendiri. Makanya dalam karya fiksi novel sering ditulis, jika ada kesamaan peristiwa, tidak ada maksud apa-apa.

Belajar dari fiksi tak melulu buku. Saya menemani anak-anak saya di sekolah kemarin menonton film. Judulnya” KING”. Sudah nonton? Pasti tahu ceritanya. Film Indonesia besutan Ari Sihasale ini mengajarkan saya makna persahabatan, dan juga kerja keras. Tak luput juga menceritakan tentang sulitnya mendidik. Kadang bahwa orang tua perlu berujar kata sayang. Saya menangis tak malu, mendengar kata-kata si bapak, “menang atau kalah, kamu tetap anak bapak.” Aduh, so sweet. Bagaimana rasanya jika anak-anak terus dituntut nilai bagus? Capek kan? Karenanya kata-kata itu diperlukan. Bahwa kegagalan seorang anak tak seharusnya memotong ikatan keluarga. Saya tersentuh.

Fiksi, bersumber dari realita yang disamarkan, bisa menjadi bahan belajar apapun bentuknya. Kita bisa mengajar anak-anak kita melalui cerita. Bukan dengan omelan/nasehat.

Salam pendidikan,

Maria Margaretha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun