Tulisan Para Wanita Biasa
Oleh Maria Margaretha
Dari ucapan yang keluar dari mulut kita orang tahu SIAPA kita,
Dari ucapan yang keluar dari mulut kita orang tahu KUALITAS diri kita,
Dari CARA bicara kita orang tahu siapa kita,
BIASANYA Orang yang penuh KEBENCIAN akan ber KATA-KATA yang bernada KEBENCIAN,
BIASANYA Orang yang KECEWA akan berkata-kata dengan MAKIAN, CACIAN dan HUJATAN.
Dari semua itu ORANG LAIN akan tahu siapa KITA sesungguhnya
Itu adalah status FB teman saya. Gantilah kata ucapan menjadi tulisan. Maka sayapun melakukan sesuatu.
Beberapa hari lalu, saya bersih-bersih profil saya. Beberapa tulisan saya yang menurut saya kurang layak baca, karena menurut rasa saya bernuansa kebencian dan tak sesuai dengan diri saya, mulanya saya unpublish. Kemudian, saya menyadari bahwa cara itu kurang tepat. Untuk apa saya menyayangi tulisan sampah semacam itu? Okelah, itu perasaan saya sendiri. Okelah, itu juga ada di wall FB teman. Namun, kalau masih bisa dicari dan sayalah penulisnya, rasanya kurang pas juga. Jadi, saya mendeletenya. Saya memilih move on. Merelease masalah dan menulis sesuai brand saya.
Ada beberapa orang mengira, bahwa postingan itu adalah isi inbox. Tetapi, sebenarnya bukan. Postingan itu berasal dari perbincangan di wall FB seorang teman, yang saya copy paste dan tambahkan substansi yang mengganggu saya. Tidak ada isi inbox yang saya bongkar. Mungkin penebak, memang tak membaca apa yang saya tuliskan di judul posting, bahwa tanya itu dari wall FB. Kalau ditanya apa saya punya draft tulisan itu, saya harus bilang tidak punya. Memang sebagian besar tulisan saya di kompasiana ini tidak saya draft. Kecuali, belakangan ini saya sedang belajar fiksi. Ada draft-nya. Berharap bisa menjadikannya buku kelak.
Karena saya telah memutuskan untuk move on maka saya punya hutang untuk menyelesaikan serial penuli-penulis di balik buku 25 kompasianer wanita ini.
Pada tulisan lalu, saya menulis tentang Oma Roselina dan Mbak Rokhmah. Dalam tulisan ini saya ingin cerita sedikit tentang mbak Edrida, Mbak Tytiek, mbak Puri dan mbak Ngesti.
Tentunya tak semua kompasianer mengenal penulis-penulis ini. Saya beruntung mengenal 4 wanita ini. Memang mereka bukan wanita yang berkilau pada tampilan. Namun kalau sempat dilihat penampilan mbak Edrida di kompasianival 2013 lalu, jelas kelas yang dimiliki-nya. Kesenangan membaca juga terlihat saat bersama mengunjungi pesta buku Indonesia di Senayan.
Wanita lajang ini memiliki sifat terbuka yang layak dikagumi. Saya bertemu mbak Edrida di acara memasak Xiao Long Pao. Laporannya ada di sini.
Saya melihat ada sikap baik dari mbak Rokhmah, mbak Edrida, dan waktu itu mbak Hastuti, mengikuti acara belajar memasak di restoran yang bila bukan seseorang yang terbuka tentu tak mau. Restoran ini memang menyajikan makanan Chinese. Namun sudah dijelaskan oleh kompasiana dan urbanesia bahwa khusus acara belajar masak ini semuanya sudah disterilkan dari bahan yang tidak diperbolehkan.
Buat saya perlu kepercayaan untuk mau mengikuti acara seperti ini. Itu membuat saya harus memberi poin pada mbak Edrida. Tulisannya di 25 Kompasianerpun mencerminkan sifatnya yang terbuka dan suka belajar. Inilah sifat yang wajib dimiliki para wanita. Suka belajar . Ceritanya mengalir dan menarik.
Berikutnya, mbak Tytiek. Emaknya para kampretos. Saya bertemu mbak Tytiek, pertama setelah pulang acara masak itu, saya langsung menuju perjanjian berikutnya dengan Pak Thamrin Sonata, launching buku 36 Kompasianer merajut Indonesia di Poem Kafe. Di sanalah saya ketemu, mbak Tytiek, mbak Ngesti, mbak Puri Areta. Poem Kafe. Oktober 2013.
Gayeng sekali obrolan kami di sana, dan menuju ide, membuat tulisan khusus wanita ini. Harus diakui, tulisan mbak Tytiek sungguh menyentak. Itulah wanita, punya rasa untuk dibagi. Kisah ibundanya dalam buku 25 kompasianer itu membuat saya jadi memahami, bahwa wanita memang punya kekuatan, menyangkal diri demi anak-anak. Kesediaan untuk mengalah, walau sebenarnya di baliknya tetap ada kekuatan menyangga pria. Ah, sungguh cantik tulisannya, secantik batin sang penulis.
Mbak Tytiek,… kapan nge-Poem Kafe lagi? Dan meluncurlah saya ke Poem Kafe bersamanya di suatu Sabtu siang berbeda setelah Kafe Pisa, Nangkring Bareng Newmont. 30 November 2012. Kebersamaan berdua itu masih berkesan dalam hati saya. Saya baru tahu bahwa mbak Tytiek itu supel dan banyak teman, tetapi tidak sombong. Tulisannya menggugah hati, cerita tentang kenangan terhadap ibu dan ayahnya.
Mbak Ngesti? Wanita sederhana ini, memang tampilannya saja memperlihatkan kecantikan hati. Tulisannya? Tak disangkal, saya terpesona idenya membuat baju-baju lama bermanfaat dengan mendaur ulangnya menjadi daster atau lainnya. Ide keren dari seorang ibu yang aktif dengan “go green”nya ini.
Pertemuan lain saya dengan mbak Ngesti juga memberi ide-ide hidup sehat dengan herbal dan perjalanannya bersama Avansa. Di mana? Poem Kafe lagi toh. Nah, pasti pembaca tahu mbak Ngesti yang mana yang saya sebutkan ini. Ia adalah pemenang lomba menulis bersama Avansa di Kompasiana.
Wanita juga bisa peduli. Peduli lingkungan dengan memelihara dan mendaur ulang barang-barangnya.
Mbak Puri Areta. Ah,… saya hanya ketemu dua kali, keduanya memang hanya sepintas, namun saya suka membaca puisi-puisi dan tulisan-tulisannya yang berkesan penuh cinta pada lingkungan dan juga dalam buku 25 kompasianer ini membuat saya sebagai guru berpikir, bahwa, saya harus berhati-hati saat menugaskan anak membuat research berbasis internet. Ya, bahwa ada tanggung jawab orang tua dalam menampingi anak berselancar di dunia maya.
Tulisan cantik mbak Puri ini, sungguh menarik disimak. Nah, tunggu apa lagi, udah pada inbox dan pesan buku ini pada pak Thamrin Sonata belum? Ayo silakan pesan. Masih tersedia dalam jumlah terbatas. Bukan hanya wanita yang bisa baca, pria juga bisa membacanya, agar memahami hati wanita. Silakan pesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H