Lomba Matematika
Pindah lagi. Aku baru dua setengah tahun di sekolah ini. Waktu memindahkanku ke kota ini, papa bilang biar kita semua bisa kumpul. Mama, Papa, kakak, aku dan adik. Aku masih ingat kakak menangis keras sekali, saat papa memaksanya ikut. Kakak sudah kelas 5 waktu itu.
Sekarang, papa sudah pergi. Hanya Mama, kakak, aku dan 2 adik. Ya, aku punya adik lagi. Masih bayi waktu papa pergi. Kakak harus melanjutkan SMP. Kata mama, lebih baik pulang ke kampng halaman mama dan tinggal dengan emak.
Emak itu ibunya mama. Ia sudah tuuuuaaa sekali.
Aku dimasukkan sekolah yang sama dengan kakakku. Sekolah katolik satu-satunya di kota emak. Mama bekerja pada saudaranya. Kami menempati satu kamar besar di rumah emak. Tidur bersama-sama.
Suatu hari mama menerima surat. Aku melihat mama menangis diam-diam. Aku belum tidur.
Oktober datang, libur Idul Fitri. Dan ada papa. Papa pulang. Waktu itulah aku tahu bahwa papa tinggal di Tangerang. Suatu hari nanti aku akan menyusul papa.
----- dua bulan kemudian ---
Pak Agus, wali kelasku memberitahukan, ada lomba matematika tingkat kecamatan. Ia menanyakan siapa yang mau ikut. Aku mengacungkan jari tanpa ragu. Aku suka matematika. Walaupun,… nilaiku tidak bagus-bagus amat sih.
Pak Agus melirik. Cuma melirik. Sebel deh. Ngga ada guru seperti bu Retha. Ups. Aku membandingkan. Kata bu Retha tidak boleh membandingkan. Kata Pak Agus nanti diseleksi belajar saja yang rajin.
Kupikir, oke, siapa takut. Aku rajin melatih matematikaku. Pinjam buku pada kakak kelas. Kemudian seorang teman kakakku bilang, “ Seperti bu guru 2020.” Karena aku membaca buku-bukuku sambil berjalan ke mana-mana. Maksudku menunggu kakakku, yang pulang lebih siang.
Test pertama, banyak kakak kelas lima dan ada juga teman sekelasku. Usahaku berbuah. Aku lolos. Hore. Ada 10 anak yang lolos. 3 anak kelas empat dan 7 anak kelas lima. Sekarang aku malah dipinjami buku-buku latihan oleh kakak kelas yang tidak lolos. Senang juga.
Sekolah ini kakak kelasnya baik-baik. Suka membantu. Pak Agus juga kelihatan lain. Ia sepertinya mulai menanggapi usahaku belajar. Sepuluh siswa terseleksi, hanya akan dipilih tiga orang. Itu wakil sekolah.
Susahkah matematika itu? Tidak. Aku suka membaca, jadi, soal matematika berbentuk cerita itu menyenangkan aku. Ternyata aku lolos lagi, bersama seorang teman dari kelas empat lain. Jadi kami akan mewakili sekolah.
Lomba tingkat kecamatan itu mudah sekali, tetapi, sayangnya sekolahku hanya mendapatkan jatah satu orang untuk ke kabupaten. Maka, nilai tertinggi yang dipilih. Aku sedih sekali. Aku mengira bahwa tidak demikian seleksinya. Pak Agus mengatakan bahwa sebenarnya nilai sekolah kami 3 besar. Jadi ketiga utusan sekolah, meraih juara. Tapi, karena semua dari sekolah kami, hanya seorang yang dikirim. Sekolah lain minta diberi kesempatan. Apalagi sekolah kami swasta.
Aku sudah tak berharap saat pak Agus mengatakan bahwa sekolah akan mengutus aku.
" Tiara Ardini, wakil sekolah kita"
Yah, itu aku. Aku masih Tiara Ardini kan?
Aku?
Aku?
Didorong teman-teman sekelasku maju ke depan saat pengumuman itu. Iya, waktu upacara. Jadi. Aku akan mewakili kecamatan atas nama sekolahku.
Kali ini, aku mulai dilatih. Membosankan sebenarnya. Karena aku tak mengerti sedikitpun. Sebenarnya guru paling bisa membuatku mengerti ya bu Retha. Sekarang? Aku lebih suka belajar sendiri. Tapi, yah aku menurut saja. Begitu kata bu Retha dulu. Ikutilah aturan. Ya udah. Kok bu Retha lagi? Ah. Lagi. Sepertinya aku akan menyuratinya. Nanti. Kalau aku berhasil masuk lomba di Nasional.
Nasional? Iya. Itu targetku. Kenapa? Tidak boleh?
Aku agak capek kali ini. Tapi, hehehe. Aku senang. Aku memenangkan juara dua di Kabupaten. Jadi aku bisa meneruskan ke Provinsi. Hore….
Asyiknya lagi, kali ini pelatihku menyenangkan. Ia bisa membuatku mengerti soal-soal rumit. Entah berapa soal yang kukerjakan dalam pelatihan, belum lagi aku masih tetap sekolah. Aku rasa, mungkin aku akan berhenti setelah ini. Pelatihku sepertinya menyadari kejenuhanku. Ia menanyakan keggiatan kesukaanku. Membaca. Apalagi? Ia membawakanku, buku-buku cerita yang tak ada di perpus sekolahku. Kalau aku bisa mengerjakan 10 soal aku boleh membacanya dan membawanya pulang. Ha? Aku senang sekali. 10 soal sih,… ngga masalah.
Sepulang latihan, selain soal, aku membawa beberapa buku cerita. 10 soal 1 buku,… kalau betul semua. Aku bisa selesai 30 soal kadang,… membayangkan buku-buku cerita itu saja membuatku semangat. Ke provinsi, kami bertiga. Dua orang adalah anak kelas lima dari kabupaten-kabupaten lain. Kali ini, aku tak tahu apakah aku bisa. Aku hanya mau berusaha.
Aku ingin ke Jakarta. Melihat Monas, dan juga mengunjungi papa di Tangerang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H