Mohon tunggu...
Apep Wahyudin
Apep Wahyudin Mohon Tunggu... profesional -

Nama Apep Wahyudin; 43 tahun; seorang guru mengajar di sebuah kursus bahasa Inggris. Aktif menulis di blog dengan alamat blog: www.islamitucinta.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perbedaan Itu (Seharusnya) Mendatangkan Rahmat!

26 April 2013   12:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:34 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
(QS. Al-Anbiyaa: 107)

"Mengapa sih orang-orang ini suka sekali bikin keributan. Sepertinya gatal sekali tangan dan mulut mereka kalau tidak berantem dan mencaci maki orang lain yang berbeda keyakinan dengan mereka", keluh Timun sambil matanya memelototi TV di ruangan guru. Ia menghela nafas panjang pertanda rasa prihatin yang berat memenuhi seluruh penjuru rongga dadanya. Kemudian ia menjangkau lemari kabinet yang tidak jauh dari rak TV, dan kemudian mengambilmug dari dalamnya. Ia menyobek se-sachet kopi instan dan memasukannya ke dalam mug tadi. Air panas dari dispenser ia seduhkan dan kopi itu ia aduk sebanyak 25 kali. Itu kebiasaan Timun untuk menandai bahwa ia sangat mencintai bekas sekolahnya dulu: SMPN 25. Tempat dimana ia pertama kali jatuh cinta dan memiliki 4 orang sahabat setia. Ia menghirup udara kopi itu dengan nikmatnya. Sangat kontras dengan ucapan dia tadi yang mengeluhkan kondisi bangsanya yang tak pernah luput dan pulih dari petaka yang sebagian besar akibat ulah bangsa itu sendiri.


"Itu karena mereka punya dalil dan alasan yang kuat", Umar yang sedari tadi juga memandangi TV berkomentar; seperti biasa selalu berseberangan dengan Timun. Umar terus menghirup kopinya yang tinggal separuh sambil terus mengamati berita yang ada di televisi--berita sore hari. Mereka berdua ada di ruangan guru karena mereka sedang jaga piket. Selain mereka berdua masih ada Karim yang sedang sibuk dengan laptop-nya. Ia sedang membuat soal-soal untuk ia berikan kepada muridnya esok pagi. Sementara itu, guru-guru yang lain sudah sedari tadi meninggalkan ruangan guru; mereka semua menunaikan tugas mulianya yaitu mencoba untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (ceeeeileeee.......!).


"Apanya yang kuat? Atas dasar apa mereka membenci dan menyerang orang-orang yang mereka anggap sesat dan hina. Tuhanpun berdiam diri dan tidak menghukumi mereka--paling tidak selama mereka ada di dunia. Mengapa pula kita mesti coba-coba bermain sebagai Tuhan atau bahkan ingin melebihiNya?", Timun berkata dengan nada sedikit meninggi.


"Mereka menyerang karena mereka merasa terancam. Mereka menyerang karena mereka merasa agama mereka telah dilecehkan. Kalau agama kamu dilecehkan, apa kamu mau berdiam diri?", lanjut Umar, tegas.


"Tentu tidak! Tapi ngomong-ngomong mengapa kamu merasa agama kamu merasa agama kamu dilecehkan oleh mereka, sedangkan saya sama sekali tidak merasa agama saya dilecehkan oleh mereka. Padahal agama kita berdua sama. Seharusnya saya juga merasakan hal yang sama. Jadi jangan-jangan kamu dan mereka merasa dilecehkan karena kalian salah paham saja. Karena sayapun membaca koran, juga majalah, dan saya tak luput juga menyimak berita harian dari TV dan radio tentang hal yang sama. Saya juga yakin kamu melakukan yang sama yaitu membaca koran, menonton TV dan lain-lain, tapi mengapa kamu merasa dilecehkan; merasa takut; merasa resah dan risih karena ada keyakinan lain yang menurutmu menjadi ancaman bagi agama kita? Sedangkan pada saat yang sama, saya merasa tenteram dan asyik-asyik saja. Sekali lagi mungkin kalian ini memberikan makna terlalu berlebih pada suatu peristiwa sehingga reaksi yang kalian berikan tidak sesuai, tidak pas, tidak cantik, tidak elok; cenderung berlebihan dan menimbulkan friksi yang tidak yang tidak perlu".


"Itu mungkin karena kamu sendiri tidak sensitif terhadap permasalahan yang ada", kata Umar menyimpulkan sambil menghabiskan kopinya hingga tak tersisa setetespun, maklum kopi instan. Ia terpaksa untuk siap-siap menghadapi perkataan Timun selanjutnya yang sepertinya tinggal menunggu waktu saja karena ia melihat Timun sedang menarik nafas dalam-dalam, mengambil ancang-ancang. Sebelum berbicara Timun menghangatkan mulutnya terlebih dahulu dengan satu hirupan kopi hangat yang tadi ia seduh.


"Bukankah agama itu mengajarkan kita kedamaian dan bukan perpecahan atau pertikaian? Bukankah agama itu seharusnya menjadi solusi dari suatu masalah bukan menjadi penyebab dari masalah itu sendiri? Kamu kan pernah membaca suatu hadits yang berbunyi, 'sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan umatku itu adalah rahmat'. Lihatlah hadits itu sekali lagi dan jangan bilang padaku bahwa hadits itu tidak shahih. Kamu sendiri sering menggunakan hadits itu. Jangan sampai ketika hadits yang sama aku gunakan tiba-tiba kamu bilang hadits itu tidak shahih. Lihat kembali hadits itu. Kalau perbedaan pendapat itu menjadi rahmat, maka itu disebabkan karena dengan perbedaan pendapat-lah orang-orang akan terpacu untuk berpikir dan mencari pendapat yang tepat. Sedangkan apabila perbedaan pendapat itu tidak ada, maka itu akhir dari perkembangan ilmu. Ilmu itu bisa berkembang karena seringkali kita tidak setuju atau tidak sepakat sepenuhnya dengan yang dikatakan orang. Oleh karena itu, kita senantiasa mencari lagi bukti-bukti yang bisa menggiring kita ke pendapat lain, yang kita anggap lebih mapan dan matang dan sukar untuk dipatahkan orang. Sekali lagi, apabila perbedaan pendapat itu adalah rahmat, maka sebaliknya kesamaan pendapat itu bisa jadi sebaliknya yaitu tidak mendatangkan rahmat. Lalu kalau perbedaan pendapat itu mendatangkan kebaikan mengapa pula kalian merisaukan sesuatu yang mendatangkan kemashlahatan", Timun menutup pembicaraan dirinya dengan nafas megap-megap karena ia tidak sempat berhenti berbicara.


"Tapi kalau perbedaan pendapat itu mendatangkan rahmat mengapa yang terjadi sekarang sebaliknya", Karim yang sedari tadi sibuk dengan laptop-nya di ruangan yang sama turut nimbrung. Mungkin sedari tadi ia menyimak pembicaraan Timun dan Umar karena di ruangan itu hanya ada mereka bertiga. Ketika ada dua orang yang sedang berbicara, maka pastinya orang ketiga menjadi pendengar setia.


"Itu terjadi karena ada sekelompok orang yang tidak bijak menyikapi perbedaan", kata Timun dengan tidak bermaksud menyinggung Umar. Tapi Umar sangat merasakan pernyataan Timun itu ditujukan kepada dirinya.


"Mereka tidak melihat bahwa mereka itu manusia. Dan manusia itu diciptakan oleh Allah dari lelaki dan perempuanKemudian dari mereka diciptakan suku-suku dan bangsa-bangsa dengan satu tujuan yaitu saling kenal mengenal", jelas Timun menggunakan ayat al-Qur'an  (QS. Al-Hujuraat: 13) sebagai dalih ucapannya.


"Mereka diciptakan berbeda karena Allah ingin menguji mereka. Kalau mereka saling kenal mengenal; saling hormat-menghormati; saling asah, saling asih, saling asuh; maka itu sesuai dengan tujuan penciptaan. Lain lagi kalau mereka saling serang; saling menyalahkan; saling caci dan maki; saling tonjok-saling tendang, bahkan saling bunuh, jelas itu semua bertentangan dengan tujuan  penciptaan. Masa mereka tercipta untuk saling memusnahkan!? Yang tadinya diadakan oleh Tuhan sekarang ditiadakan oleh manusia. Jelas itu bertentangan dengan tujuan penciptaan! Dan yang bertentangan dengan perintah Tuhan itulah yang seharusnya layak mendapatkan neraka dan sangsi berat dari Tuhannya".


"Tapi ayat itu kan tentang suku-suku bangsa dan ras manusia? Bukan tentang perbedaan agama; bukan pula tentang perbedaan madzhab dan aliran dalam Islam", Umar mencoba berkelit sekenanya.


"Orang tidak perlu kecerdasan super untuk memahami hal itu. Kalau kamu beli 5 ekor kambing, kamu tidak perlu bilang pada si penjualnya: saya mau beli 5 ekor kambing lengkap dengan kepalanya, badannya, kaki-kakinya, dan juga nyawanya. Cukup sebut saja 5 ekor kambing. Titik".


"Allah tahu umatNya tidak bodoh-bodoh amat. Ia hanya menyebut suku-suku atau bangsa-bangsa (syu'uban wa qaba'ilaan) saja sebagai pembeda; Ia tidak perlu menyebutkan bahwa manusia itu akan diciptakan kedalam berbagai golongan, kelompok etnis, partai politik, aliansi keagamaan, madzhab, aliran, keyakinan yang berbagai ragam, dan lain-lain, dan lain-lain".


"Allah tahu sebagian dari kita cukup cerdas untuk memahami hal itu", kata-kata yang terakhir memang Timun tujukan untuk sedikit menyindir temannya yang manggut-manggut dari tadi. Entah mengerti, entah mengantuk.


Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun