Memiliki nama yang setidaknya mengandung makna yang prestise, program studi ilmu hubungan internasional sebenarnya merupakan turunan dari fakultas ilmu sosial yang banyak mengupas mengenai aspek politik internasional baik dalam lingkup regional maupun global. Sedemikian relevan program studi tersebut dengan realitas politik global suka tak suka memiliki implikasi terhadap politik dalam negeri. Â
Namun dalam praksis dunia pendidikan kita yang sedang diarahkan sebagai feeder bagi dunia industri terutama untuk mempersiapkan negara ini untuk menghadapi bonus demografi pada tahun 2030, keberadaan program studi ilmu hubungan internasional jelas sudah tidak kompatibel dengan perkembangan zaman. Berbeda dengan kebanyakan mayoritas program studi lainnya yang bersifat teknis dan applicable sesuai bidangnya, ilmu hubungan internasional memang tidak bersifat know-how tetapi lebih banyak kepada pengetahuan teori mengenai subjek dan objek politik internasional.Â
Masa-masa perkuliahan lebih banyak mendorong mahasiswa melakukan diskusi, menganalisisnya dalam makalah ataupun melakukan praktik bersidang umum yang lazim dilakukan PBB, beberapa short course mengenai manner dalam melakukan public speech yang dapat dikategorikan sebagai pembelajaran pengetahuan umum selama 4 tahun dibandingkan sebagai tempat pengasahan hard skill untuk memenuhi kebutuhan industri.Â
Kita banyak mendiskusikan dan belajar menyelesaikan suatu isu secara sistematis namun tidak tersedia kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut seperti misalnya rekayasa pangan untuk menghentikan efek malthus pada negara-negara dunia ketiga atau bagaimana lulusan Hi bisa menjawab bagaimana menghentikan ekstremisme global jika tidak menyelesaikan akar utamanya yaitu kemiskinan struktrural di negara-negara konflik maupun negara-negara yang dikategorikan hampir gagal.Â
Konsekuensinya adalah tidak banyak profesi atau jalur karir yang tersedia bagi para lulusan ilmu hubungan internasional karena program studi ini sebenarnya redundant dengan kebutuhan dunia industri terutama pada era revolusi keempat. Sejatinya lulusan ilmu hubungan internasional dibutuhkan untuk mengisi posisi diplomat sebagai grapevine relasi internasional namun kebutuhannya tidak sebanding dengan jumlah lulusan siap pakainya  ditambah kenyataan lain berupa minimnya pengampu posisi duta besar yang berasal dari kalangan terdidik ilmu hubungan internasional dapat menjadi bahan evaluasi bagi kemristekdikti untuk menentukan nasib program studi ini, apakah kemristek akan melakukan pemotongan jumlah universitas pengampu program studi ini atau melakukan moratorium total demi mengurangi dampak penggangguran akibat mismatch kebutuhan industri dan dan universitas penyedia sumber daya.   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H