Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sayangi Bukan Musuhi, (begitu kata) Doraemon

22 Desember 2014   18:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:43 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Melihat Facebook saya di bagian home, saya mendapati dua teman saya mengeluarkan uneg-unegnya terhadap film Doraemon yang sedang happening di negeri kita tercinta, yang mungkin dikarenakan oleh gimmick marketingnya, mungkin juga dikarenakan oleh trailernya yang "menipu" (sebagaimana sebagian besar film lainnya), atau mungkin hanya dikarenakan sekedar oleh faktor D, yakni Doraemon itu sendiri. Karena Doraemon sudah menjadi suatu hal yang ikonik di negeri kita, dan sebagian besar kita, kalau tidak bisa dikatakan seluruh, tahu mengenai Doraemon dan baling-baling bambunya, dan mengimpikan memiliki kantong ajaibnya. Setidaknya saya begitu.

Kembali ke komentar kedua teman saya di laman Facebook. Yang satu berkomentar yang kurang lebihnya mencerca mereka yang mengatakan film Doraemon itu bagus, yang menyanjung Stand By Me Doraemon sebagai film yang menyentuh sanubari sehingga mereka menitikkan airmata kala menontonnya. Teman saya yang satu ini sampai mengeluarkan pernyataan bahwa mereka yang mengatakan film SBMD bagus adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepintaran di bawah rata-rata. Reaksi pertama saya adalah 'wow'. Reaksi selanjutnya saya sempat tidak bisa berkata, lalu kemudian ingin berkomentar atas status FB nya itu, tapi kemudian saya urungkan. Karena alih-alih saya mengeluarkan kata-kata yang tepat (dimana saya bukan ahlinya), yang akan terjadi adalah kesalahpahaman lau berujung merusak pertemanan. Lagipula adalah hak dia untuk berpendapat seperti itu, walau bagi saya sendiri disayangkan.

Teman yang satu lagi, mengeluarkan status yang mengatakan kurang lebihnya menyatakan bahwa mereka yang mengatakan film SBMD jelek adalah orang-orang bodoh. Sebagai catatan kedua teman saya ini tidak mengenal satu sama lain, sehingga fenomena ini terjadi setidaknya bukan karena kedua orang ini saja. Dia lalu melanjutkan bahwa dia tidak dapat menahan diri sebagai Mr. Nice Guy, dan dia harus mengatakan apa yang dia ingin katakan. Atas status yang satu ini, reaksi pertama saya juga 'wow'. Namun karena subjektifitas saya terhadap SBMD itu sendiri, mau tidak mau mempengaruhi reaksi saya selanjutnya terhadap teman saya yang ini.

Atas kejadian ini, saya hanya menyayangkan bahwa sebagai manusia berumur (25+ sudah bisa dikatakan dewasa, setidaknya secara biologis), mereka tidak dapat menyalurkan pendapat mereka dengan baik. Mungkin juga karena sebagian besar kita sudah begitu melekat dengan dunia sosmed sehingga kita menjadikan itu sebagai kepribadian kita. Sebuah hal yang tidak dapat terelakkan di dunia dimana teknologi sedang berlomba-lomba untuk memudahkan (atau menyulitkan, tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya) kehidupan kita, secara spiritual maupun praktikal. Memang emosi adalah suatu hal yang harus disalurkan, namun sebaiknya disalurkan secara wajar dan sehat. Dalam artian ketika kita menyalurkannya, kita tidak alih-alih menebar reaksi berantai yang negatif atasnya. Lagipula bukankah kita sudah tahu akan "kepala boleh panas, tapi hati mesti dingin"?

Saya sendiri bukanlah orang yang sudah handal mengendalikan diri ketika emosi mulai menguasai pikiran, tapi saya selalu menekankan pada diri sendiri, bahwa hal itu tidak boleh menjadi suatu hal yang menyulut hal lainnya, yang kemudian bersama-sama malah merusak dengan skala yang semakin besar. Merusak hubungan pertemanan, merusak hubungan percintaan, suami-istri, dan juga keluarga. Juga selalu saya tekankan pada diri, bahwa perbedaan itu mutlak, jadi ketika saya belum bisa menerimanya, saya setidaknya harus bisa menoleransinya. Dan meyakini bahwa ada hikmah di balik perbedaan itu. Lalu mencari hikmah itu sendiri.

Kembali sebentar ke soal film. Banyak film yang saya nilai sebagai film yang buruk. Tapi tidak pernah terbersit dalam benak saya untuk berpendapat bahwa yang menonton film-film yang saya anggap buruk itu sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagai hal yang lain mungkin, dan kejadian ini mengingatkan saya untuk mempelajari lebih dalam lagi mengenai toleransi ini, tapi sudah jelas bukan dalam hal intelejensia. Maka benarlah suatu kalimat yang pernah saya baca dalam suatu buku. "Menertawakan kelemahan orang lain berarti menghilangkan kesempatan anda untuk mempelajari sesuatu darinya".

Salam sejahtera untuk kita semua!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun