Santin menghela nafas, seiring pikiran yang berkelebat di benaknya. Sambil menuangkan adonan kue gunjing yang terbuat dari tepung beras dan tepung ketan serta parutan kelapa itu ke dalam cetakan, dia mengandai. Bila saja menuangkan gundah hatinya kepada Amak* semudah dia menuangkan adonan kue gunjing ini, tentulah dia tidak perlu sering-sering menghela nafas seperti ini. Memang parutan kelapa yang kasar itu akan menahan laju adonan untuk turun dari teko plastik yang sedang dipegangnya itu, tapi cukup dengan bantuan dorongan sendok, adonan tersebut turun ke cetakan dengan takaran yang pas dan merata.
Sedangkan dia sendiri, begitu banyak penghalang, bahkan dari benaknya sendiri pun, sehingga dia tak kunjung buka suara kepada Amak tentang hal yang mengganjal di pikirannya. Pelanggan belum datang sepagi ini, dan dia memang biasa mempersiapkan beberapa loyang dulu agar tidak membuat pelanggan menunggu ketika mereka tiba. Hal itu membuat rutinitas yang sudah begitu dihapalnya dalam pembuatan kue gunjing menjadi penghalang yang tak berarti ketika pikirannya mengembara.
Dia ingin meneruskan sekolah. Namun belum sempat pikirannya mengemukakan kenapa, dia sendiri sudah membatin, apa bisa? Adik-adiknya masih kecil, dan masih sekolah, kombinasi sempurna. Sudah jelas adik-adiknya tidak bisa menggantikan dia berjualan kue gunjing ini. Pagi mereka bersekolah, pagi pula dia berjualan kue. Siang hari bukan peruntungan yang baik untuk berjualan kue teman minum kopi atau pengganti sarapan seadanya ini. Amak sendiri berjualan di tempat yang lain, sedangkan dari hasil berjualan di dua tempat yang berbeda inilah yang sudah menyekolahkan adik-adiknya dan mengebulkan dapur.
Jadi apa bisa? Santin lalu menghela nafas untuk kedua kalinya. Kalaupun tidak bisa melanjutkan sekolah lagi, ada satu impian lagi yang ingin dia lakukan. Dia ingin belajar menjahit, mengambil kursus di Etek** Minah. Dia tak ingin memanggang gunjing terus-terusan. Setidaknya sebelum dia menikah kelak, dia ingin punya kemampuan yang lain. Tapi apa lacur, lagi-lagi benaknya sendiri mencegat pikiran itu. Mau bilang apa ke Amak? Sedangkan sedari dulu Amak terus mewanti-wanti. Bahwa cukup dia yang dikorbankan dengan tidak bisa bersekolah lagi. Adik-adiknya tidak boleh bernasib sama. Sedangkan hasil berjualan bila ramai ditabung untuk menutupi bila sepi, sambil pas-pasan mencukupi kehidupan di antaranya.
Ketika dia menghela nafas lagi untuk ketiga kalinya, dia mengingatkan diri. Sudah Santin, cukup kesahmu kali ini. Jangan sampai kue ini hambar terasa di mulut penikmatnya. Relakan saja bila hidup sudah begini. Bukankah adik-adik sudah rajin bersekolah karena mereka juga mengerti keadaan kita? Amak juga bukannya ingin nasibnya tidak bersekolah begini. Tapi Amak yang orangtua tunggal sepeninggal Apak*** sudah berusaha sebisanya sendirian mencukupi periuk nasi di rumah dan keperluan sekolahnya. Namun ketika bertambah jumlah pengenyam sekolah di keluarganya, mau tak mau harus ada yang dikorbankan.
Jadi sudahlah Santin membatin. Sambil membuka penutup cetakan yang kemudian mengepulkan asap yang timbul karena uap, dia melayangkan doa supaya adik-adiknya tidak mengalami nasib yang sama sepertinya.
Â
Â
-teriring salam untuk Ibuku
Â
* = panggilan untuk Ibu di daerah Minang