Ia hampir tertidur ketika matanya terusik oleh sesuatu yang tadinya tak begitu kentara ia rasakan. Seperti melihat bayangan, atau seperti ilusi mata yang dikendalikan oleh otak yang lelah. Melihat sesuatu yang mungkin ada, yang seringnya lebih mungkin tidak ada. Tapi tidak kali ini, ia yakin sudah, ada sesuatu, atau seseorang yang sedang bersamanya di dalam kamar tidurnya yang tak begitu luas itu.
Dikatakan tak begitu luas, namun seringkali dirasakannya terlalu luas untuk diisi dengan kesepiannya yang mulai meluber kala malam tiba. Mengisi setiap sudut di dalam benak untuk terus mengingatkannya akan kehangatan yang bisa didapatkannya dari teman yang dapat mengusir sepinya yang dingin itu. Hal yang membuat ia secara menyedihkan tidak bersikap sebagaimana mestinya.
Seperti seharusnya tuan rumah yang kedatangan tamu tak diundang. Menghardiknya, memukul sambil mengusir, berteriak minta tolong, atau hal-hal lain yang biasanya. Tapi tidak kali ini, tidak kepada orang ini. Kesepiannya menyebabkan ia tak lagi mempedulikan apa dan kenapa seseorang itu ada di dalam kamar tidurnya saat ini, karena ditemani pencuri lebih baik daripada tidak ditemani siapapun baginya.
"Kau datang untuk mengambil nyawaku?" Pembukaan yang begitu menyedihkan untuk sebuah perkenalan.
"Apakah menurutmu aku akan menjawabnya jikalau memang itu yang akan kulakukan?"
"Entah, pertanyaanku barusan memang bodoh."
"Kebodohan atau kepintaran itu hanyalah sekedar ilusi."
"Jadi, kau datang untuk berfilsafat denganku?"
"Tidak juga."
"Kalau begitu, adakah kau datang untuk menemaniku?"
"Bisa dibilang begitu."