"Pembawa sial, pembawa sial," sorak-sorai anak-anak kampung mencemoohnya.
Ara sejak dulu berusaha menebalkan kuping, namun tak cukup nekat untuk menulikannya. Bergegas ia melangkahkan kaki, sebelum terhisap oleh amarah. Dia bukannya tak berani, pernah ia luapkan satu kali, ketika itu. Hasilnya seorang anak dari gerombolan anak-anak kampung itu, kepalanya terkuak oleh lemparan batunya, dan darah segar pun mengalir. Dan dia tidak kabur pada waktu itu. Hanya menunggu kalau ada anak lain yang ingin membalas tindakannya itu. Namun bahkan orangtua anak yang ia kucurkan darahnya itupun tidak memarahinya, mungkin sadar akan kegagalannya mendidik anak sendiri, yang tak kunjung jera walau sering mereka omeli, untuk tidak mencemooh dan merendahkan orang lain. Apalagi yang tidak berbuat salah kepadanya sama sekali.
Namun selama rumput masih bergoyang, angin masih bisa mengabarkan. Berita itu sampai ke telinga ibu Ara, yang lalu malah memarahinya habis-habisan. Tanpa pukulan. Hanya perhatian dan kasih sayang yang dibalut dengan kurang lebarnya hati. Ara memaklumi karena melihat dirinya sendiri. Dia tak pernah membalas satu katapun kepada ibunya itu.
Dan dia tak lagi membalas cemoohan anak-anak kampung dengan lemparan batu, ataupun dengan hal lain. Sehingga nyali mereka yang tadinya sempat ciut demi melihat lemparan dari tangan Ara yang begitu jitu dan ampuh, menjadi mengembang kembali seiring hari-hari dimana Ara tak menanggapi mereka dengan lemparan batu lagi. Hanya saja, mereka belum cukup berani untuk menyorak-sorai Ara dengan cemooh, dalam jarak yang mereka anggap mematikan. Bekas luka di dahi anak nahas itu, yang kembali bermain dengan mereka namun sudah tidak lagi ikut-ikutan mencemooh Ara, telah menjadi penanda pengingat yang baik.
Tak ada suara bulat yang akan didapatkan dari anak-anak pencemooh itu seandainya mereka ditanyai satu persatu. Anak yang satu mungkin akan mengatakan Ara membawa sial bagi kelompok manapun dia bermain ketika mereka bermain Benteng di waktu dulu, karena kelompok tersebut akan selalu kalah. Anak lain akan mengatakan Ara membawa sial, karena ia tak pernah menang lagi kalau Ara sudah ikut bermain kelereng dengannya di waktu dulu. Yang lain lagi akan mengatakan Ara membawa sial bagi bapaknya sendiri, yang sudah meninggal karena menolong Ara sewaktu dulu.
Waktu itu mereka melawan nasihat orangtua mereka dengan bermain ke hutan. Ara sendiri sudah turut melarang, namun suaranya kurang begitu didengar, karena ia tak pandai berkata dan hanya punya satu bahasa, kejujuran. Yang tak pandai pula ia balut dengan cara yang bijak, sehingga menghasilkan kata-kata ketus maupun pahit kepada teman-temannya, yang hanya karena terpaksalah karena kekurangan orang untuk bermain dalam permainan mereka. Dan menganggap Ara hanya sekedar pelengkap belaka. Ketika mereka semakin masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan harimau, mereka baru teringat kembali akan nasihat orangtua-orangtua mereka sementara dengkul mereka melunglai ketakutan. Harimau itu mungkin sedang memilih mangsa mana yang hendak ia terkam, sesuai hakikat bimbang karena pilihan, ketika Ara muncul dari belakang.
"Cepat!! Lari kembali!!" gelegar suara Ara, sambil melempari harimau itu dengan batu, lalu berlari semakin dalam ke arah hutan, mengumpankan dirinya supaya teman-temannya bisa selamat.
Harimau itu langsung menjatuhkan pilihannya kepada Ara, yang bergegas mencari pohon yang sekecil mungkin untuk ia panjati. Ia teringat ucapan bapaknya bahwa harimau bisa memanjat pohon. Ia sudah mengumpulkan beberapa batu di dalam kantong celananya sebelum masuk ke hutan itu, untuk berjaga-jaga seandaikan sesuatu seperti itu akan terjadi.
Anak-anak lain yang bergegas berlarian keluar dari hutan, dan langsung bergegas mencari bapak Ara untuk melapor kepadanya. Dibalut dengan ketakutan akan dimarahi, namun cukup tau terimakasih untuk tidak membiarkan Ara yang telah menolong mereka, ditinggal begitu saja, jadilah mereka berbohong bahwa Ara pergi sendirian ke hutan, dan merekalah yang melarang Ara.
Bapaknya bergegas menyusul ke hutan, dan meminta anak-anak itu untuk meminta bantuan ke orangtua mereka dan juga orang lain. Yang dilakukan dengan lambat karena ketakutan mereka itu, sehingga ketika akhirnya para penduduk berkumpul dan menyusul ke hutan tersebut, yang mereka temukan adalah jasad bapak Ara yang sudah berdarah-darah dimana-mana. Harimau itu sendiri sudah hendak memakan bapak Ara ketika mendengarkan teriakan panggilan dari para penduduk, menjadi melarikan diri ke kedalaman hutan. Ara yang sedari tadi berusaha membantu melumpuhkan harimau itu dengan lemparan batu, tak kuasa menolong bapaknya. Bapaknya sendiri yang meneriakkan kepadanya supaya tidak turun dari pohon itu selama harimau itu belum pergi. Namun sebenarnya ketakutan demi melihat harimau itu yang dengan buasnya berusaha memanjat pohon itu untuk memangsa dirinya, sudah menciutkan nyalinya ke batas tiada. Lemparannya pun menjadi jauh dari jitu.
Semenjak kejadian itu, banyak hal berubah. Ara tak lagi bermain dengan teman-temannya, yang terus menyiram kebohongan mereka, yang tak lama kemudian seakan menjadi fakta. Ibunya tak lagi seceria dulu, sewaktu bapaknya masih ada. Sampai cukup lama baru ibunya menerima hal tersebut, namun cerianya tetap tak kembali, karena yang kini ada adalah ketegaran yang sendu. Ibunya lah yang tetap meminta Ara untuk bermain kembali dengan teman-temannya itu, walau Ara sudah menjelaskan bahwa mereka semua adalah pembohong. Ibunya menemukan sesuatu sepeninggal kejadian yang merontokkan hatinya itu. Jika Tuhan saja berbelas kasihan kepada manusia, seperti yang ia temukan kembali, maka apa setidaknya dia juga belajar untuk itu.