Aku tak menjawab, sulit kujelaskan kepadanya kalau kakiku sudah punya keinginan sendiri. Mungkin dia sudah bosan menurutiku yang lebih suka berdiam dan jarang menggunakannya lagi. Ia lalu mengarah ke kubangan itu dan menuruninya, terendam betis. Lalu lututku melemah, mungkin ia sengaja, mungkin memang lelah. Tapi aku tahu maksudnya.
Aku berlutut di dalam kubangan itu, sampai sebatas perut terendam sudah.
"Hei, kau mau apa?" tanya Hujan kembali, nada suaranya sedikit khawatir.
"Aku rindu Risa."Â
Kubiarkan kalimat itu sampai diresapinya, bagaimanapun, dialah yang paling mengerti aku saat ini. Hujan pun menderas, hangat itu kurasakan lagi.
"Tak perlu menangis, kawan," ujarku kemudian, lalu menjatuhkan diriku untuk memeluknya.
Hujan semakin menderas, hangatnya semakin kurasakan di punggungku yang paling dekat dengan permukaan. Lama ku berdiam menikmati pelukan yang hangat darinya, sampai akhirnya ku berkata,
"Jangan khawatir kawan, aku hanya merindukannya."
Kuharap gelembung-gelembung yang berisi suaraku itu akan menyampaikan padanya kelak, ketika ia sudah ke atas sana. Atau dia sudah mendengarnya kini pun. Bagaimanapun, dialah yang paling mengerti aku saat ini.
Kota Mereka, 12 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H