Hujan baru saja menebar dirinya, yang untuk sesaat bila kau lihat dari sisi yang tepat, guratan warna-warni pelangi itu akan terlihat pada suatu sisi. Tapi aku tak peduli, aku sudah cukup senang dengan kehadirannya yang sudah kutunggu lama. Kakiku melangkah sendiri, menyusuri kembali jalan setapak kemarin.Â
Bajuku mulai menggelap seiring titik-titik bagiannya merambat di tubuhku. Dan seiring langkahku yang makin jauh, kuyup pun terjadi. Tapi aku tak peduli, aku sudah lama menunggunya. Dan lama pun kami tak bicara.
"Kau tak bosan berteman denganku?" katanya kemudian.
"Akankah kau bosan kepadanya yang paling mengertimu?"
Dia terdiam, hanya gemericiknya yang terdengar, yang berusaha memeluk aspal namun terpental. Jeda yang berirama itu menemani kesunyian kami untuk beberapa lama.
"Maafkan aku kalau begitu, telah lama membuatmu menunggu kembalinya datangku."Â
Sejenak aku merasa airmatanya jatuh di sela rintik-rintiknya, karena untuk sejenak itu aku merasa hangat. Mengingatkan akan hangat di bahuku saat Risa menangis di atasnya. Lalu mengingatkanku dia telah tiada.
"Tak mengapa, mungkin lebih baik begitu. Karena jika kau datang tiap hari, aku khawatir aku akan mulai menganggapmu biasa dan mengabaikanmu."
Lagi aku mengingat Risa. Risa yang dulu datang tawarkan cintanya yang sederhana. Aku yang terlena dengan dunia menerima, namun menganggapnya biasa. Lalu pengabaian datang, airmatanya datang, dan aku terlambat untuk menyadari berharganya yang dia berikan, karena kini semua itu hilang.
Rintiknya menari di atas sawah yang ada di sebelahku kini. Bersalaman dengan kawan lama, menari untuk sesaat, lalu bercengkrama di antara selingan padi yang masih hijau. Di kejauhan aku melihat kubangan. Aku berjalan ke arahnya.
"Kau mau apa?"