Karena selama dia mengendalikan tubuh ini, aku yang dia kira dia sembunyikan, selalu menyaksikan apa saja yang dia lakukan. Sehingga rencananya untuk menghabisi kami berdua dengan cara kembali ke masa lalu itupun dapat kuketahui dengan mudah, cukup dengan menarik kesimpulan dari berbagai hal yang dia lakukan. Hanya karena tak dapat memperkirakan waktunya dengan pasti yang menyebabkan aku sengaja tiba lebih awal disini, dan menunggunya selama itu. Takkan kubiarkan diriku hilang begitu saja. Rencananya untuk menghabisi nyawa kami itu akan kudului dengan membunuhnya terlebih dulu.
Mungkin dengan begitu aku dapat menyingkirkannya untuk selama-lamanya, karena kami berdua kesini dengan kepribadian kami masing-masing. Entahlah, aku tak terlalu memusingkan hal itu. Yang penting dia tidak memusnahkan karya-karyaku yang telah kuciptakan dengan susah payah selama ini. Aku sendiripun tak yakin bahwa setelah kepergianku ke masa ini, akankah dia masih juga dapat turut kesini? Menggunakan tubuh yang mana? Tapi seperti yang sudah kukatakan, aku tak peduli. Aku hanya tak rela karya-karyaku yang disebutnya sebagai kekejaman itu musnah begitu saja. Perihal apakah aku akan turut musnah bila aku membunuhnya disini sudah tidak kupikirkan lagi.
Yang kutahu pasti, aku harus berhati-hati. Kemampuanku sebagai pembunuh yang baik dalam menggunakan senjata mungkin saja secara tak sadar akan ada padanya juga. Jadilah aku memilih menggunakan busur dan panah ini, sehingga bilamana tembakanku meleset, dia setidaknya membutuhkan waktu untuk menemukan dari mana arah panahnya. Lalu ku menunggu sampai hari itu tiba. Dan menunggu dengan ragu melunturkan kemampuanku untuk berwaspada.
Sedangkan rupanya dia juga mewarisi kemampuanku yang lain. Aku tak mengira dia akan menempatkan diri di atas dahan dan memiliki kepercayaan diri untuk mengincar diri kami di masa ini dari kejauhan. Pantas saja aku luput memperhatikannya karena kecerobohanku, dan aku baru mengetahuinya ketika kudengar bunyi letusan dari senapannya. Segera saja kuarahkan busurku dan mengincar dadanya. Kemampuanku masih sempurna, satu panah langsung menembus dadanya dari belakang. Tak lama kemudian dia jatuh dari atas dahan itu bagaikan karung yang berisikan sesuatu. Jatuh begitu saja. Jatuh tanpa nyawa melekat padanya lagi.
Lalu segera kuberlari ke arah tubuh anak kecil yang telah kuperhatikan sedari tadi itu, tubuh kami di masa ini. Kutemukan ia sudah terkapar di tanah dan lunglai. Aku tak bisa diam begitu saja menyambut kematianku. Walau ku tahu kecil kemungkinannya untuk selamat dari peluru yang bersarang di kepalanya itu. Segera kuraih dia dan kugendong dalam pelukanku. Kurasakan tubuhku melemah, mungkin aku akan menghilang sebentar lagi, apabila anak kecil ini mati. Maka secepat mungkin kularikan tubuhnya keluar dari hutan ini, dan meletakkannya di pinggir jalan. Kupastikan sebisa mungkin agar ia dapat ditemukan oleh seseorang atau siapa saja yang lewat. Lalu aku kembali ke dalam hutan, bersandar di sebuah pohon seiring tubuhku yang kian melemah. Lalu memasrahkan segalanya.
---
Ayah dan Ibu berkali-kali mengingatkan aku untuk tidak main sendirian, dan berkali-kali pula aku mencemooh ide mereka. Namun tidak kali ini, aku rasa aku tidak dapat mencemooh mereka lagi. Karena aku bahkan tidak tahu dimanakah aku berada sekarang. Seperti berada di alam mimpi, di sebuah lorong yang mengarah ke suatu tempat. Dan tubuhku mengalir begitu saja mengikuti arusnya.
Lalu aku mendengar suatu suara yang entah darimana datangnya, melemparkan sebuah tanya kepadaku, apakah aku ingin kembali lagi. Yang segera kujawab dengan ya. Karena entah mengapa kurasakan lorong ini akan membawaku ke suatu tempat yang sangat jauh dan tanpa bisa kembali lagi. Lalu suara itu bertanya lagi apakah aku bersedia untuk memenuhi satu saja syarat darinya. Dengan cepat aku bertanya syarat apakah yang dimaksudnya, karena entah mengapa aku semakin merasa tak nyaman untuk terus-terusan berada di lorong ini.Â
Dan tak lama ketidaknyamanan itu berubah menjadi sesuatu yang entah mengapa begitu mencekam, aku menjadi begitu ketakutan, dan tak lagi dapat berpikir panjang. Segera saja kuiyakan syaratnya untuk berbagi tubuh denganku itu ketika suara itu kembali mengutarakannya. Lalu terdengar seperti gumam kepuasan dari suara itu, dan tak lama kemudian hening. Mataku lalu terbuka dan mimpi itu berakhir. Cahaya lampu sorot menyilaukanku untuk beberapa lama, sampai kemudian aku dapat melihat beberapa orang yang berpakaian tertutup, lengkap dengan penutup kepala dan juga masker mulut dengan warna senada. Mereka semua seperti berekspresi lega, sekiranya aku dapat menafsirkan hal itu. Karena ekspresi mereka sama sepertiku ketika aku luput dari suatu kesalahan yang akan menyebabkanku diomeli kedua orangtuaku.
Aku kembali tertidur setelah itu, kali ini tanpa mimpi itu lagi. Dan ketika tubuhku terbangun untuk kedua kalinya, aku mendapati kedua orangtuaku sudah berada di sisi ranjang tempatku berbaring. Mereka berdua sama-sama menangis, tapi mata mereka memancarkan sesuatu yang menghangatkan hatiku. Aku ingin tersenyum kepada mereka dan mengatakan sesuatu. Tapi entah kenapa aku kehilangan kendali atas tubuhku, dan hanya bisa menjadi seperti penonton dari sudut pandang pertama, tanpa bisa menahan mulutku yang kemudian membentuk sebuah senyum sinis.
Jakarta, Mei 2016