Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Surat dari Balik Jeruji

3 April 2016   15:23 Diperbarui: 3 April 2016   15:26 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: foto.tempo.co"][/caption]Terimakasih suratmu, Bapak baik, Nak, masih mengupas kulit menjadi orang baru. Tak mudah, bila Bapak diijinkan mengeluh, karena disini bukan tempat yang menginginkan orang lahir baru. Hanya dunia mini, yang lebih menghancurkan diri. Tapi kita tak bisa memilih penebusan kita, bukan? Kemiskinan meniadakan itu. Pilihan.

Apa kabarmu, Nak, bagaimana Ibu? Bapak tak pernah sempat mintakan maaf, telah beratkan Ibumu. Hanya bisa memohon pengertianmu, hanya bisa mohonkan kau tambah kedewasaanmu, dan ringankan beban beliau. O andai saja, tapi waktu tak bisa Bapak putar lagi, jelas Bapak pilih korupsi. Walau tergadai harga diri, tapi daripada maling ayam berlari.

Kemiskinan meniadakan itu.

Bapak bukan sedang ingin membuatmu terharu, Nak, Bapak cuma ingin kau tahu, tetesan airmata di lembar kertas ini, mungkin akan mengering di tanganmu, tapi Bapak harap ia dapat menyampaikan betapa hancur Bapak karena menelantarkanmu. Harusnya Bapak di sebelahmu, mengajarimu belah kayu, atau mengejar asa memburu.

Kemiskinan hati Bapak yang membuatnya begitu. Bapak mestinya yang mengajarimu, dunia boleh mengguncangmu begitu rupanya, sampai kau memuntahkan harga diri. Tapi sudah tugas jati dirilah untuk menemukannya kembali. Jatuh, dan bangun lagi. Bangun, dan jatuh lagi, jati diri tetap kembali. Cukup terhinakah Bapak untuk tak mengajarkan ini?

Disini dunia mini, Nak, kau harus punya jati diri, agar tak hilang ketika mereka mengguncang akar-akar kemanusiaanmu. Pilihan-pilihan nuranimu. Bapak harap kau siap bila karena tiada teladan Bapak, akan menarikmu kesini, langkah menderap. Mungkin bila kita bertemu, Bapak bisa menyungkur menyujud dan kau mencaci, biar hilang pedih perih.

Bapak harap kemiskinan tak mengadakan itu. 

 

Jakarta, April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun