Oleh: Aosin Suwadi
Guru SMA Negeri 6 Kota Serang
Pada umumnya orang menilai bahwa pendidikan di negara kita, sekarang lebih maju dibandingkan dengan zaman dulu. Sebagian orang menanggapi lain. Dilihat dari sisi “pengajaran” memang telah maju sangat jauh, bahkan telah berorientasi kepada “go internasional.” Akan tetapi jika dilihat dari sisi “pendidikan”, kita melihat kemunduran yang luar biasa. Kita tahu bahwa mengajar dan mendidik merupakan dua hal yang berbeda, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan. Perkataan “mengajar” mengandung kontasi mengubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar. dari tidak bisa menjadi bisa, dan dari bisa menjadi mahir, dan seterusnya. Sedangkan “mendidik” mengandung konotasi mengubah perilaku manusia dari buruk menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik. Selanjutnya kita lihat fakta apakah perilaku bangsa kita bertambah baik, atau bertambah buruk? Mari kita jawab pertanyaan tersebut dengan melihat fakta empiris. Dahulu kondisi negara kita telatif aman, dan nyaman. Sekarang kita melihat berbagai fakta seperti: pencurian perampokan, perampasan, penipuan, tawuran antar pelajar, perang antar suku, pejabat saling hujat, saling tuntut, saling gulingkan, dan lain sebagainya. Bahkan kita juga pernah menyaksikan tayangan tinju bukan di ring tinju. Dan satu lagi fakta yang sangat otentik adalah “korupsi” tumbuh subur dan berkembang pesat di negara kita. Fenomena-fenomena tersebut selalu kita saksikan setiap hari: pagi, siang, sore dan malam di berbagai media.
Masyarakat awam yang tidak tahu apa-apa, dengan mudahnya menuding dan menyalahkan pendidik, terutama guru. Lebih dari itu terkandang mereka mengancam keselamatan pendidikan dengan meminjam tangan-tangan wartawan dan LSM. Mereka mengancam keselamatan pendidikan melalui kepala sekolah, dan para pejabat di lembaga kependidikan dengan menggunakan senjata Undang-Undang Pers dan HAM. Sehebat apa pun prestasi pejabat, kalau terus menerus diancam, tidak akan bisa bekerja dengan aman dan nyaman. Dalam kondisi seperti ini mereka tidak akan sempat berprestasi, karena semuanya sibuk menyelamatkan diri. Sementara itu para dalangnya bersenang-senang di hotel berbintang. Sungguh sangat ironis.
Harus kita akui dengan sejujur-jujurnya, bahwa kehancuran moral bangsa sebagaimana digambarkan di atas, adalah hasil proruduk pendidikan. Akan tetapi penjelasannya tidak hanya sampai di situ. Cikal bakal kehancuran moral bangsa kita mulai dominan terjadi sejak jebolnya dam Orde Baru. Kita melihat bagaimana rakyat dengan bebasnya menghujat para pejabat. Kemudian para fakar sibuk mencari solusi. Salah satu solusi yang diambil adalah dilahirkannya Otonomi Daerah.
Otonom adalah kasatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.Menurut UU No 32 Tahun 2004Pasal 1 Ayat 5 tentang pemerintahan daerah, Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuia dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Undang-Undang pasal 1 ayat 32 Tahun 2004, Pemerintahan Daerah terdiri dari: Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat daerah.
Semula kita berharap, dengan digulirkannya otonomi daerah akan terjadi perkembangan yang pesat dalam pembangunan di segala bidang. Tiap daerah bisa dengan luluasa mengatur dan memanajemen roda pembangunannya masing-masing. Akan tetapi kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Dulu sebelum otonomi diberlakukan, para ahli telah memprediksi akan munculnya raja-raja kecil. Ternyata kekhawatiran itu benar-benar terjadi. Untuk memperkuat kekuasaannya, selanjutnyaOtonomi Daerah berduet dengan politik. Hubungan Otonomi dengan politik, semakin lama semakin intim. Sampai pada akhirnya tidak disadari politiklah yang menjadi pemegang kekuasaan. Sepertinya tidak salah jika orang berpendapat bahwa politik itu identik dengan kekuasaan.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa semua pembangunan di daerah, dikendalikan oleh politik dan kekuasaan. Termasuk otonomi sekolah dan manajemen pendidikan. Pemerintah telah meluncurkan program MBS yang di dalamnya memberi kebebasan kepada sekolah untuk merencanakan, menyusun dan melaksanakan programnya masing-masing. Lagi-lagi fakta empiris berbicara lain. Semua satuan pendidikan di berbagai jenjang berjalan dibawah kendali politik dan kekuasaan. Walaupun berat harus penulis katakan bahwa pemerintah selalu siap menyediakan sarana dan pra sarana pendidikan untuk tiap jenjang. Akan tetapi itu berlaku untuk sekolah yang punya modal dan mau mengeluarkan modal awal pengajuannya. Setelah pengajuan di-acc dan pembangunan telah dilaksanakan, sebelum dana dicairkan, muncul hal-hal yang menakutkan. Jika pihak sekolah, dalam hal ini kepala sekolah mau aman, harus membayar uang keamanan.
Selain itu, kita juga sering mendengar rumor dalam pengangkatan pejabat baru, dengan istilah “wani piro?” Peraturan-tinggal peraturan, konsep tinggal konsep, sedangkan pelaksanaan sangat ditentukan oleh kekuasaan. Sebenarnya kekuasaan itu milik siapa? Betapa kuatnya belenggu politik. Ada baiknya jika kita membijaki kutipan puisi berikut, yang mengekspresikan betapa sesaknya nafas kita hidup dalam belenggu politik dan kekuasaan.
....
Dalam rimbanya dia berkuasa