Mohon tunggu...
Aosin Suwadi
Aosin Suwadi Mohon Tunggu... -

Menjajal melintas Rimba Raya Dunia Maya, dari sebuah SMA Negeri 6 di Banten

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Antara Syukur dan Kufur

20 Maret 2015   22:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Aosin Suwadi

Negara kita tergolong negara kaya di dunia. Kekayaan negara kita menjadi incaran para penjajah dari berbagai negara. Akan tetapi kenyataannya sungguh sangat ironis. Ratusan tahun para pendahulu bangsa kita hidup dalam belenggu. Berbagai penderitaan dialami oleh mereka. Ketakutan, kelaparan, penyiksaan, bahkan nyawa mereka dalam permainan kepentingan para penjajah. Untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, mereka (para pahlawan) rela berjuang sampai titik darah penghabisan.

Pada waktu negara kita baru merdeka, taraf kehiduapan dalam bidang sosial ekonomi bangsa kita masih sangat rendah, dan dan labil. Kondisi waktu itu bangsa kita masih dalam intaian dan incaran serta rongrongan para penjajah yang masih penasaran ingain menguasai kembali hasil bumi Indonesia. Pada tahun 1965 ketika komunis sedang merongrong idiologis pancasila, waktu itu kondisi ekonomi bangsa kita benar-banar dalam keadaan terpuruk. Rakyat Indonesia hidup dalam kelaparan. Bahkan orang yang mempunyai banyak uang pun tidak mampu membeli makanan, karena akanannya tidak ada. Sekalinya datang kiriman beras, rakyat yang punya uang harus rela mengantre untuk membelinya.

Sementara itu rakyat yang tidak memiliki kemampuan membeli beras, mereka hanya hidup dengan memakan ubi-ubian dan buah-buahan yang diperoleh dari tumbuhan liar di hutan. Buah sirsak muda yang dikukus adalah salah satu contoh makanan pengganti nasi. Lebih prihatin lagi jika ubi-ubian dan buah-buahan di hutan telah habis, terkadang mereka memakan bonggol pisang. Begitu juga dengan kehidupan pegawai negeri waktu itu. Gaji mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok (untuk makan). Keluarga pegawai negeri bisa sedikit makan yang rasanya agak enak, jika baru menerima tunjangan lauk pauk.

Penulis masih ingat, pada awal tahun 1983 penghasilan pertama yang saya terima sebagai gaji guru waktu itu hanya Rp 16.000,00. Uang sejumlah itu hanya mampu membeli kebutuhan makan dengan menu yang sangat murahan, untuk penulis sendiri hanya cukup untuk satu minggu. Jika uang tersebut digunakan untuk ongkos tugas ke sekolah, juga hanya cukup untuk satu minggu. Uang Rp 1.600,00 waktu itu nilainya kurang lebih setara dengan harga mas 2 grm.

Walau gaji tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, tapi para PNS termasuk para guru, waktu itu mampu melaksanakan tugas dengan dedikasi yang tinggi. Bahkan hasil didikan mereka waktu itu dapat dikatakan lebih berhasil dibandingkan dengan yang sekarang. Out put pendidikan pada zaman itu jauh lebih menghargai orang tua, guru dan orang lain.

Sekarang, gaji guru sudah mencapai angka 3 sampai 5 juta lebih. Apa lagi jika mereka telah memperoleh tunjangan sertifikasi, maka gajinya menjadi dua kali lipat. Jika dirata-ratakan gaji guru yang telah tersertifikasi akan mencapai kurang lebih 7 juta rupiah perbulan. Jika diukur dengan harga mas, kira-kira 14 grm. Gaji guru sekarang, jika dibandingkan dengan tahun 1983 saja telah meningkat kurang lebih 4 kali lipat. Tapi pada kenyataannya sepertinya banyak PNS dan guru yang hidupnya masih merasa kekurangan dan sangat prihatin. Kondisi seperti itu tentunya akan sangat mempengaruhi terhadap kualitas kinerja.

Begitu banyak nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, hingga kita tidak mampu menghitungnya. Sepertinya berat sekali bagi kita untuk mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah. Begitulah sifat kita sebagai manusia yang sering kufur terhadap nikmat Allah. Kita tidak menyadari bahwa setiap saat kita selalu diberi tambahan nikmat oleh Allah. Atau mungkin kita ini berada di antara syukur dan kufur, sehingga tidak mampu merasakan nikmat dan tidak bisa berterima kasih atas pemberian dari Allah. Setiap hari kita selalu merasa hidup dalam kekurangan.

Berkat perjuangan para pahlawan, kini kita telah 70 tahun hidup di alam kemerdekaan. Seharusnya kita mensyukuri kemerdekaan ini dengan membangun bangsa di berbagai bidang, sesuai dengan posisi kita masing-masing. Akan tetapi kenyataannya justru lebih ironis jika dibandingkan dengan zaman penjajahan. Betapa tidak, di zaman yang modern sekarang ini bangsa kita masih hidup dalam kondisi yang tidak nyaman dan bahkan tidak aman. Pencurian, perampokan perampasan, begal, termasuk korupsi semakin tumbuh subur di negeri warisan para pahlawan ini. Bahkan bisa dikatakan lebih dari prilaku penjajahan.

Demikian tulisan ini merupakan sumbangan ide dari kepala SMA Negeri 6 Kota Serang yang penulis susun dan  publikiasikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Dan jika berkenan mohon tinggalkan komentar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun