Mohon tunggu...
Aorin Sebastian
Aorin Sebastian Mohon Tunggu... -

alhamdullilah

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pemimpin Masa Depan Versi PPI

10 Januari 2014   09:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Loyalis Anas mantan Ketua umum Partai Demokrat, kembali berulah. Melalui organisasi masyarakat (ormas) Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) kembali melakukan perlawanan dengan KPK. Sebelumnya kubu ini mempermasalahkan sprindik, mengangkat kisah penculikan, SMS dukungan hingga menebar isu pertemuan di Cikeas. Penilaian saya secara pribadi loyalis anas bagaikan kisah di film komedi. Mereka terdiri dari orang-orang berpendidikan dengan berbagai gelar disiplin ilmu, namun pola pikir mereka terkesan sesat dibutakan oleh nafus birahi politik.
Sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan gelar intelektual, sepatutnya memberikan contoh yang baik kepada publik, bukan sebaliknya menjadi badut yang memaksakan tampil meski tidak membawa pesan komedi. Ini sebuah kekonyolan dan kebodohan.
Jelas upaya Anas bersama loyalisnya Melawan KPK meruapakan langkah bunuh diri dan pada akhirnya Anas akan rugi sendiri. Tak ada dalam sejarahnya petinggi negeri ini yang terlibat kasus korupsi bisa menghindar dari jerap KPK. Lembaga superbody ini bekerjanya jauh lebih canggih dari Kejaksaan dan Kepolisian, sehingga mereka akan mengumpulkan bukti hingga 100% baru memanggil tersangka.
ICW menilai langkah Anas sebagai preseden buruk dalam pemberantasan korupsi. Lebih buruk dari Atut yang lebih gentle dan siap bertanggung jawab. Bisa kita bandingkan saat Atut akan di tahan, Gubernur Banten ini dikawal oleh jawara. Bukan rahasia umum lagi, jika dibandingkan dengan para jawara, tentu pendidikan peserta PPI lebih tinggi dan lebih pintar pola pikirnya, namun fakta ini menunjukan perbedaan dari kenyataan yang ada. Meski selama ini identik jawara lebih banyak menggunakan otot bukan otak, loyalis Anas lebih menunjukan cocot (mulut) ketimbang otak. Anas pun terlalu banyak bicara ketimbang fakta, dirinya lebih sibuk menebar fitnah ketimbang fakta.
Berbagai skenario terus di kumandangkan untuk membebaskan Anas dari jeratan hukum. Kisah BAB I yang tak berujung, menerbitkan buku, hingga upaya lainnya, namun apakah Anas lupa, bangsa ini telah menanti dirinya di monas untuk digantung.
Jelas senjata pamungkan kubu ini pada akhirnya adalah konspirasi dan kambing hitam. Isu ini lah yang akan dimainkan untuk menarik simpatik. Namun, sebagai anak bangsa kita patut bersyukur dengan adanya masalah ini setidaknya menunjukan siapa sebenarnya Anas dan loyalisnya. Dirinya tak lebih dari seorang pemimpin yang penakut, pemimpin yang hanya bisa bicara tanpa membuktikan apa yang ia bicarakan. Padahal sangat jelas kasus ini tidak bermuatan politik, namun sangat jelas telah terjadi pelanggaran hukum. Tak beralasan jika kubu Anas bersikukuh bahwa pimpinan mereka tak bersalah.  Inikah sikap “pemimpin masa depan” PPI yang diajarkan untuk bangsa? Bagaikan mimpi disiang bolong kemudian disamber gledek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun