Oleh wilda aulia anzani
Tidak perlu repot Ke Ibu Kota Jakarta, di Serang pun masih seringkali dapat kita jumpai anak-anak belia pencari sebutir nasi dan sebongkah berlian di jalan maupun sudut-sudut kota. Beberapa dari mereka mengaku, bahwa hal itu menjadi keinginannya sendiri untuk membantu perekonomian keluarga yang semakin merosot, dan sebagian dari mereka menutupi kenyataan bahwa Orangtuanya sengaja membagi rata beban untuk merajut hidup, atau yang populer disebut dengan “eksploitasi anak”. Eksploitasi anak adalah pemberdayaan tenaga anak yang di manfaatkan oleh Orangtuanya sendiri maupun pihak-pihak tidak bertanggung jawab lain.
Demi mendapat Rupiah lebih dari penghasilan yang mereka dapatkan, para Orangtua maupun pihak-pihak ini seolah menutup mata, telinga dan hati mereka dengan ketidakpedulian dan menjadikan para anak sebagai mesin penghasil Rupiah pribadinya. Dan Rupiah pun berhasil membuat mereka lupa bahwa anak adalah titipan Tuhan yang semestinya di rawat dengan penuh kasih.
Kemerosotan perekonomian sebuah keluarga yang semakin memburuk di tiap harinya adalah alasan terlaris dalam hal ini. Namun tak jarang pula para Orangtua tersebut memanfaatkan wajah belia anak-anak sebagai pemikat untuk memunculkan rasa simpati dan empati orang lain, walaupun kemampuan Orangtua tersebut masih terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sebuah keluarga.
Seperti yang di alami oleh kakak-adik berusia 5 dan 3 tahun yang memohon Rupiah setiap harinya di kota serang, wajah lesuh yang terlihat sudah biasa dengan rutinitas tersebut, membuat keduanya jauh dari hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Tentu saja pendidikan adalah hak yang akan selalu di bahas dalam hal ini. namun hal paling menyayat yang di alami oleh mereka adalah keluarga sebagai faktor pertama pembentukan kepribadian yang seharusnya mengajarkan, menyayangi, melindungi dan menjauhkan mereka dari hal-hal negatif malah mendekatkan kedua anak tersebut pada lingkungan hitam dengan berbagai kemungkinan buruk di setiap harinya.
Anak pada usia 5 maupun 3 tahun selayaknya alat perekam, mereka melihat, memperhatikan, kemudian mengikuti segala hal baru yang mereka temui. Jadi, tidak heran anak jalanan seringkali berperilaku menyimpang. karena setelah keluarga sebagai faktor pertama dalam pengembangan kepribadian, lingkungan adalah faktor terkuat dalam membentuk kepribadian individu, dan anak-anak tersebut mendapatkan 2 (dua) faktor secara bersamaan pada usia 5 dan 3 tahun.
Orangtua yang hanya berfokus pada Rupiah ini, sepertinya tidak tertarik untuk memikirkan berbagai dampak yang akan si anak alami karena Keterpaksaan si anak berjalan tanpa pembimbing di dunia luar pada usia belia, dapat membuat si anak canggung bergaul dengan sebayanya karena masa bermain yang di renggut dan ketidakpercayaan diri yang sering disebut dengan ‘minder’.
Mengenai hal ini, tidak aneh ketika semua melirik pemerintah dan pertanyaan-pertanyaan “dimanakah pemerintah” akan sering terdengar. Memanglah wajar bila hal itu terjadi, karena masyarakat Indonesia seolah akan terbangun ketika pemerintah kurang memperlihatkan batang hidungnya.
Peranan Dinas Sosial atau DINSOS tentang ‘apa saja yang sudah dilakukan’ maupun ‘apa saja yang sedang dilakukan’ terkait masalah ini memang harus dipertanyakan, namun bukan berarti kita menutup kenyataan bahwa ‘apakah masyarakat sudah menjadi warga negara yang baik’ juga harus di pertanyakan. Karna segala bentuk program dari Dinas Sosial tidak akan berjalan lancar apabila tidak adanya kerjasama dari masyarakat sendiri.
Selain peranan pemerintah, ada pula peran instansi swasta yang memiliki tugas terkait “pengabdian kepada masyarakat”. Salah satu tujuannya adalah memperkecil kemungkinan adanya kemiskinan berkelanjutan di tengah-tengah masyarakat, meliputi kemiskinan pendidikan, infrastruktur, dan berbagai aspek lainnya.
Seharusnya pemerintah maupun instansi swasta lainnya jauh lebih peka terhadap masyarakat karena setiap instansi mengemban tugas yaitu mengabdi kepada masyarakat. Dan jika instansi-instansi tersebut tidak memperhatikan masyarakat, maka negara akan selalu menjadi terpuruk dan tidak berkembang apalagi impian menjadi negara maju, akan sangat terasa jauh. Karena yang di libatkan dalam masalah ini dan yang menjadi subjek dari tugas instansi tersebut adalah kelangsungan masyarakat.
Namun, kesuksesan sebuah rencana tidak dapat di beratkan pada satu pihak saja, seperti dalam halnya berkomunikasi. Kerjasama dari komunikator sebagai pihak yang menyampaikan pesan dengan komunikan sebagai penerima pesan sangat di butuhkan demi tersampainya sebuah pesan. Dalam hal ini, progam pihak pemeritah maupun instansi swasta tidak akan berjalan lancar apabila respon atau sikap dari masyarakat sendiri kurang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H