Indonesia saat ini sedang ramai memperbincangkan terkait kehadiran pengungsi Rohingya. Berbagai pro kontra mewarnai dunia media massa. Tidak hanya itu, pro kontra ini juga hadir dari negara tetangga, yakni Malaysia selaku pihak yang pernah menjadi tempat singgah dari para pengungsi Rohingya. Jika kita lihat bukankah pantas kemanusiaan dijunjung? Namun, negara tetap harus menetapkan batas-batas peraturan yang berkaitan dengan persyaratan penerimaan etnis. Lalu, bagaimana Indonesia menyikapi para pengungsi berdasarkan status tanggung jawabnya?
Komisi Tinggi PBB untuk bidang HAM, Zeid Ra'ad Al Hussein menyatakan bahwa masyarakat Rohingya telah diperlakukan secara diskriminatif. Mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan bahkan untuk mendapatkan pengobatan saja harus mendapatkan dokumen khusus sebagai pengantar ke rumah sakit. Hal ini berakibat pada tingginya angka kematian bayi karena penanganan terhadap ibu hamil yang seringkali terlambat untuk mendapatkan penanganan medis. Komisi Tinggi HAM PBB bahkan menyatakan bahwa, warga Rohingya telah lama menjadi sasaran kekerasan dan menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan yang serius dan bersifat sistematis.
Tanggung Jawab Negara Terhadap Pengungsi
Konvensi 1951 tentang status pengungsi, telah disahkan di kantor Eropa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, 2 sampai 25 Juli 1951. Indonesia tidak meratifikasi konvensi, tidak pula meratifikasi protokol pengungsi 1967. Maka, Indonesia bukanlah negara tujuan pengungsi melainkan negara transit untuk pengungsi saja. Pada hakikatnya negara/pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap warga negaranya. Namun demikian, pada kenyataannya sering kali terjadi negara tidak mampu melaksanakan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya sebagaimana mestinya atau bahkan pemerintah atau negara yang bersangkutan justru melakukan penindasan terhadap warga negaranya. Kejahatan yang terjadi kepada seseorang yang mengalami penindasan atas hak-hak dasarnya sehingga terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tinggal, keluarga dan negaranya serta mencari keselamatan di negara lain dalam hukum internasional biasanya disebut pengungsi internasional (refugee).
Sudah kita ketahui bahwa hukum internasional belum mengatur tentang tanggung jawab negara secara khusus, untuk itu perlunya dilakukan gebrakan untuk membuat aturan hukum baik itu aturan dalam skala internasional maupun nasional yang bisa dijadikan dasar untuk negara dapat bertanggung jawab dalam melindungi para pengungsi, seperti kita ketahui, masalah yang menyangkut orang asing, termasuk pencari suaka dan pengungsi adalah masalah dalam lingkup pengertian keimigrasian. Sekalipun demikian, peraturan perundang-undangan keimigrasian tidak mengatur secara khusus masalah pencari suaka dan pengungsi. Akibatnya terjadi "kegamangan" aparatur pemerintah di daerah daerah, ketika harus menghadapi arus-arus besar kedatangan orang asing dari berbagai kebangsaan yang mengklaim sebagai pencari suaka atau pengungsi, sejak tahun 1999 sampai sekarang.
Tanggung Jawab Indonesia terhadap Rohingya
Maraknya berita yang beredar mengenai sifat asli Rohingya yang membuat kita geram, tentunya akan menilik persoalan lain terkait hak pengungsi. Mereka dianggap hanya merusak tatanan wilayah Aceh dan mereka sendiri tidak layak untuk diberikan perlindungan maksimal karena dianggap justru "menjajah" wilayah Aceh. Lalu bukankah Indonesia wajib menerima pengungsi sesuai tanggung jawab negara?
Bentuk tanggung jawab pemerintah negara Republik Indonesia terhadap pengungsi dari luar negeri tersebut adalah dengan menyediakan tempat penampungan ataupun tempat tinggal sementara yang layak. Hal tersebut haruslah didahului dengan merumuskan kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum serta sebagai tolak ukur/standar bagi bupati/walikota dalam menyediakan tempat penampungan atau tempat tinggal sementara yang layak bagi para pengungsi dari luar negeri yang berada di wilayah Indonesia tersebut.
Jadi berdasarkan hukum tanggung jawab negara atas pengungsi, Indonesia berhak untuk menolak pengungsi karena sifat penerimaan ini hanya sementara. Pemerintah Indonesia sendiri tetap harus memperhatikan kesesuaian dari daerah yang ditempati dalam hal ini perlu adanya persetujuan pemerintah Aceh. Jika pemerintah tidak menghendaki, maka Indonesia ataupun PBB tidak berhak dan tidak boleh memaksa kehendak daerah tersebut. Berkaca pada HAM, ada beberapa negara yang meratifikasi konvensi 1951 terkait pengungsi sebagai negara tujuan, meliputi Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat (protokol 1967 saja), hingga Kanada. Dengan demikian, Indonesia tidak memiliki tanggung jawab penuh atas pengungsi.
Sumber: https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/download/6580/5931/11449Â