Turun dari ojek, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, dan jaraknya lumayan jauh, cukup membuat lutut ini bergetar jika tidak terbiasa jalan kaki atau berolahraga sebelumnya. Dari sinilah keakraban makin terjalin. Kami saling menyemangati dengan cara bercanda selama berjalan agar tak terasa lelah.Â
Entah berapa jauh jaraknya, berapa lama juga waktunya, yang penting kami berjalan menuju air terjun. Dengan dipandu oleh seorang guide, kami berjalan beriringan. Kondisi alam yang masih asri membuat kami harus berhati-hati melangkah di jalan setapak.Â
Ada yang bercerita, dulu sebelum ada longsoran dari atas, jalan menuju air terjun lebih indah lagi. Tidak banyak bebatuan besar, dan malah tampak seperti di pantai dengan pasirnya yang indah di pinggir sungai menuju ke air terjun utama. Namun, akibat longsor, sungai-sungai jadi penuh dengan bebatuan besar.
Dulu, sebelum terjadi longsor, belum ada jembatan besi yang memudahkan kita menuju air terjun. Jalan yang harus dilalui hanya jalan setapak dan melewati sungai-sungai. Namun, sekarang sudah ada jembatan besi agar keamanan pengunjung lebih terjaga.Â
Saat musim kemarau mungkin debit air tidak begitu banyak, tapi saat musim hujan terkadang air bah tiba-tiba datang. Oleh karena alasan itu saat bulan Desember lokasi wisata air terjun Madakaripura biasanya ditutup, demi keamanan pengunjung.Â
Sampai di jembatan terakhir, kami disarankan mulai menggunakan jas hujan. Embusan angin yang membawa percikan air mirip gerimis yang bisa membasahi baju. HP pun harus dimasukkan pelindung agar tidak basah dan tetap bisa digunakan untuk berfoto.Â
Alhamdulillah, kami bisa tadabur alam, meskipun jalan yang kami tempuh tidak dekat, akhirnya sampai juga ke air terjun. Namun, belum puas dan belum lengkap bila tidak sampai ke air terjun utama. Ada beberapa air terjun di Madakaripura, dan yang lebih indah adalah air terjun utama. Terletak di sebuah ceruk yang indah.Â