Bulan Ramadan sudah memasuki sepuluh hari terakhir. Bagi kaum muslimin, saatnya lebih meningkatkan derajat keimanan dengan memperbanyak amal saleh. Namun, hal itu tampaknya tidak berlaku bagi Ramadan, bukan malah tambah alim dan saleh, tetapi makin menjadi saja kelakuannya.
Lelaki bernama lengkap Ramadan Penuh Berkah ini memang termasuk lelaki yang istimewa. Bukan hanya namanya, tetapi juga sifatnya yang suka usil. Bukan hanya di lingkungan keluarga, tetapi juga terhadap teman dan orang-orang yang ada di dekatnya.
"Kenapa namamu Ramadan Penuh Berkah?" tanya seorang guru suatu ketika.
"Mana saya tahu, Pak. Mungkin karena orang tua saya berharap berkah atas kelahiran saya. Bukan musibah," jawab Ramadan lugu.
Ada saja tingkahnya yang membuat orang menghela napas panjang. Tak henti-hentinya dia membuat orang lain berdecak.
Seperti halnya bulan Ramadan kali ini, saat yang lain lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdiam diri di masjid beriktikaf, Ramadan justru memperbanyak waktu tidurnya, di masjid juga.
"Kamu katanya iktikaf, tapi kulihat tidur saja kerjanya," tegur seorang teman.
"Iktikaf itu kan berdiam diri di masjid, apa bedanya dengan tidur di masjid? Sama, to? Daripada aku bangun malah bikin onar, lebih baik aku tidur, to?" sanggah Ramadan. Temannya hanya bisa tersenyum memaklumi.
Sore itu, setelah lepas waktu Asar, sebelum azan Magrib berkumandang. Ramadan pamit pada ibunya untuk berangkat ke masjid. Dengan mengenakan sarung kotak-kotak dipadukan dengan kemeja biru dan sorban terlilit di leher, Ramadan berjalan menuju masjid di ujung kampung.
"Bu, aku sudah mirip Buya Arrazy, belum? Doakan aku jadi ustaz ya, Bu," pinta Ramadan sambil memainkan sorban.
"Hei, Madan! Awas kalo sampai kau tak ada di masjid! Bisa marah bapakmu! Berangkat saja sore, tapi waktu salat tak tampak batang jidatnya!" ancam ibu Ramadan.
"Tenang, Bu. Anak Ibu yang tampan dan saleh ini pasti ke masjid."
Di tengah perjalanannya, Ramadan bertemu Bik Supi, tetangga yang baik dan dermawan. Melihat Bik Supi kerepotan membawa nampan, Ramadan dengan sigap menawarkan bantuan, tinggi juga jiwa sosialnya.
"Assalamualaikum, Bik, butuh dibantu? Bik Supi bawa apa, mau dibawa ke mana?" tanya Ramadan.
"Eh, Madan, iya, nih. Bibik kerepotan bawa nampan. Mau bantu kah? Bibik mau ke masjid kirim takjil," jawab Bik Supi ramah.
"Boleh, Bik. Sini, Madan bawakan."
"Kalo gitu Bibik pulang saja, ya. Kamu yang bawa ini saja ke masjid. Biar nampannya Bibik ambil besok sekalian ke pasar. Bilang Pak Mamat ini takjil dari Bibik, kamu boleh makan sesukamu, Bibik bikin banyak, insyaallah cukup," ucap Bik Supi sedikit lega.
"Baik, Bik, nanti Madan sampaikan."
Bik Supi lalu balik arah, tidak jadi meneruskan perjalanannya ke masjid karena sudah menitipkan nampan berisi takjil pada Ramadan.
Sementara, Ramadan yang kini membawa nampan ternyata tidak melanjutkan perjalanannya ke masjid. Ia berputar arah menuju lapangan. Berharap bertemu teman-temannya di sana lalu mengajaknya ke masjid.
Setelah sampai di lapangan, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tak ada orang. Saat Ramadan hendak memutar badan kembali menuju masjid, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil namanya.
"Hei, Madan! Bawa apa kau?" tanya Samsul yang tiba-tiba muncul dari belakang.
"Eh, kamu mengejutkan saja! Dari mana? Tiba-tiba muncul dari belakang, seperti hantu saja," jawab Ramadan.
"Kenapa kamu bawa-bawa nampan ke lapangan? Mau kasih makan kambing?"
"Enak saja! Ini bakal takjil di masjid dari Bik Supi. Aku yang disuruh bawa ke sana. Ayo kita ke masjid, buka bersama di sana," ajak Ramadan.
"Ah, malas lah, lebih enak buka di rumah, ibuku menyiapkan kue lebih banyak."
"Ah, kau memang pemalas, banyak makan pula. Nanti aku kasih lebih banyak lagi. Ayo, asal bisa jawab pertanyaanku ...," umpat Ramadan sambil meletakkan nampan di atas bangku kayu di pinggir lapangan. Ia lalu duduk di sebelah nampan itu.
"Sudah belajar kau rupanya? Berani-beraninya menantang aku tanya jawab, aku kan juara cerdas cermat tingkat desa, ha?" potong Samsul. "Di sini saja kalo begitu. Kau tanya dulu, kalo bisa jawab baru kasih aku dua kue." Samsul mengambil tempat duduk di dekat Ramadan. Mereka duduk berdua sambil menghadap lapangan hijau.
"Oke, siapa takut! Kalau kau tak bisa jawab dua pertanyaan, kau yang harus ikut ke masjid. Oke? Mulai, ya? Pohon apa yang Cuma ada pas lebaran?" tanya Samsul.
"Mana ada lebaran pakai pohon. Adanya saat perayaan natal, yang pakai pohon," elak Samsul.
"Ada lah, pohon maaf lahir batin. Ahahahaha." Ramadan tertawa lepas.
Lalu ia bertanya lagi. "Tiang apa yang bikin batal puasa? Kalo kamu nggak bisa, kita langsung ke masjid!"
"Ah, pasti tiang-tiang minum es jeyuk," jawab Samsul sambil tertawa.
"Yah, satu sama, ya. Aku lagi yang tanya. Kenapa matahari bisa tenggelam?" tanya Ramadan.
"Kenapa pertanyaan begitu mudah kamu tanyakan. Aku pasti tahu jawabannya. Karena matahari nggak bisa berenang, kan, makanya dia tenggelam?"
Tanpa mereka sadari, ternyata seekor kambing mendekat dan dengan lahapnya makan kudapan yang disiapkan Bik Supi untuk takjil. Beberapa kue sudah masuk ke perut. Beberapa lagi terjatuh saat si kambing berusaha mengambil lagi.
"Ah, ternyata bisa juga kau menjawab. Berapa kue yang harus kukasih? Nanti lainnya aku bawa ke masjid."
Saat hendak mengambil kue, baru mereka tersadar dan melihat kambing di dekat nampan. Segera keduanya bangkit lalu melihat isi nampan. Beberapa kue yang tercecer terlihat habis digigit kambing, beberapa malah sudah habis termakan.
Keduanya saling berpandangan dengan wajah polos dan sedikit ketakutan. Tanpa diminta, Samsul segera paham. Ia bersedia menemani Ramadan pergi ke masjid untuk mempertanggungjawabkan semuanya.
Pak Mamat yang bertugas menerima takjil dari para dermawan hanya bisa berdecak sambil menggelengkan kepala.
"Madan ... Madan, apalagi ini? Lihat saja akibat tingkahmu nanti! Bik Supi pasti akan marah. Harusnya kamu bawa ke sini dulu. Bukan malah kamu kasih ke kambing!" tegur Pak Mamat.
Ramadan dan Samsul hanya terdiam, sesekali mereka meminta maaf. Pak Mamat pun tak bisa berkata-kata lagi. Kue-kue itu tinggal sisa-sisa kambing. Tak lama kemudian, azan Magrib berkumandang, saatnya berbuka dan menikmati takjil yang ada di masjid.
Bersyukur saat itu tak banyak yang datang ke masjid sehingga tak banyak yang mencari takjil. Hujan yang tiba-tiba mengguyur deras membuat orang tak banyak yang datang ke masjid. Tampak di wajah Ramadan binar bahagia, merasa terbebas dari rasa bersalah.
Di sudut ruang, usai salat Magrib, sambil kipas-kipas dan duduk bersandar, Ramadan akhirnya tertidur hingga pulas. Tempat yang seharusnya digunakan untuk salat Tarawih dan tadarus malah dipakainya untuk tidur. Rupanya dia kekenyangan karena menghabiskan beberapa takjil dan sebungkus nasi dari dermawan lain. Benar-benar Ramadan penuh berkah. Pun bagi Ramadan Penuh Berkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H