Aku bisa merasakan kegalauanmu. Aku pun tahu kau resah. Aku bisa merasakan semua itu, meski tak sepatah kata pun kau ucapkan.
Sebentuk awan tampak bergelayut sehingga menutup sebagian binar matamu. Mendung pun seolah berarak menaungi langit ceriamu. Tawamu tak lagi menggelar bagai petir yang selalu menggetarkan hatiku.
Entah, apa yang telah terjadi denganmu. Begitu banyak perubahan kau alami. Nyaris aku tak mengenalmu lagi.
Kuberanikan diri untuk menyapamu. Sekadar bertanya, "Apakah Akang baik-baik saja?" Kau diam tak menjawab.
Lalu, sebaris kalimat kau ucapkan, "Aku takut hal ini akan terjadi." Sekarang tampak jelas sekali, kegelisahan menyelimuti hatimu. Keadaan yang mencekam, membuatmu takut kehilangannya.
Tak banyak yang kusampaikan, aku pun mungkin akan merasakan hal yang sama, jika aku ada di posisimu. "Sudahlah, Kang, jangan hal itu menjadikan beban di pikiranmu. Waktu yang akan mengurai, waktu yang akan menjawab semua."
Kau tetap bergeming. Namun, pancaran wajahmu mulai berubah. Ada seberkas sinar berkelebat, menandakan setitik harapan hadir di sana.
"Aku sedikit lega, ada kamu yang menemaniku," sepertinya itu kalimat yang akan kau sampaikan. "Pantaskah aku menerima ungkapan itu?" tetiba akal sehatku berbicara.
Aku memang berharap bisa mendampingimu, aku pun berharap bisa menguatkan hatimu, tetapi mungkinkah itu?
Kamu begitu terhormat, Kang. Kau begitu perkasa. Sudah sepantasnya jika kau memiliki pendamping yang sepadan.
Namun, semua itu tak kau dapatkan. Semua tak ada di dekatmu. Kau masih sendiri menapaki jalan sepi, meski sebenarnya kau telah memiliki segalanya.