Tanpa banyak pertimbangan aku pun menghubungi Ryan. "Ryan, aku butuh bantuanmu. Pak Ripto minta tugasku selesai sebelum September, karena awal tahun beliau pindah tugas ke Jakarta. Ayo, bantu aku, ya!" pintaku pada Ryan.
"Kamu `tuh Ran, basa-basi dikit, kek, bilang kangen, kek, apalah ... tiba-tiba aja tanya sibuk nggak? Nggak ada mesra-mesranya dikit." Ryan menjawab dengan gurauan.Â
"Apa? Kangen? Makanan khas mana itu? Kamu sehat `kan? Aku khawatir ada yang salah dengan penciumanmu," kataku dengan Rana sok lugu.
"Nah, kan! Mulai ngaco, nih, kalo ngomong. Tambah parah aja sakitmu, Ran," jawab Ryan tidak rela.
"Kapan bisa ke rumah? Ada Zein yang juga mau bantuin. Dia sanggup perangkat lunaknya. Makanya aku minta tolong kamu buat ngerjain perangkat kerasnya," jelasku pada Ryan. Kami pun sepakat untuk mulai mengerjakan esok hari. Akhirnya, aku bisa menghela napas sejenak.
***
Hampir dua hari dua malam, Zein dan Ryan berada di rumahku. Ruang keluarga di lantai atas berubah menjadi workshop, ada monitor, motherboard yang sengaja di acakacak, microcontroller, dan penyejuk udara second yang sempat aku beli di pasar loak, semua menjadi ajang eksekusi mereka. Solder, timah, kapasitor, sensor udara, LCD, IC dan kabel berwarna-warni juga ikut menyemarakkan.Â
Kadang aku kasihan juga melihat raut muka Zein dan Ryan yang terlihat kusut dan layu. Aku sering termenung menatap mereka. Suatu kali, tanpa sengaja tatapanku menerawang ke arah Ryan. Ketika aku sadar, ia membalas tatapanku dan tersenyum penuh arti, kemudian menggodaku,Â
"Awas ada lalat masuk mulut, bengong aja." Aku terkejut, malu juga rasanya didapati memandang Ryan begitu lama.
"Eemm, maaf, aku cuma terharu saja. Mau-maunya kalian membantu aku tanpa dibayar. Bagaimana aku harus berterima kasih? Apa yang pantas aku berikan buat kalian?"