Kucoba menulis sebuah puisi pendek, seolah aku sedang jatuh cinta dan selalu mengharap kehadirannya. Akan kuposting untuk melihat reaksinya, apakah masih sama ketika ia membaca tulisan tentang kesendirianku?
              Untukmu
Pagi yang sejuk telah membangkitkan segenap rinduku padamu
Tetes air sisa hujan tadi malam pun seolah membasahi dinding hati karena sapamu
Akankah hari-hari selalu kulalui dalam riang penuh hangat ucapanmu
Andai hujan pun tahu, pasti aku akan malu karena juga mengagumimu
Duhai pujaan, jika saja raga ini bisa terbang setinggi burung di angkasa
Akan kusinggahi istanamu dan kita bisa bercanda di sana
Berdua menaklukkan buana maya penuh bahagia
Hingga nyata berdua dalam dekapan selamanya
Benar saja dugaanku, ia berani menyatakan perasaannya melalui percakapan pribadi. Jika saja puisi itu benar ditujukan untuknya, maka ia akan segera hadir dan singgah di apartemenku. Namun, jika puisi itu untuk pembaca lain maka ia akan sangat menderita. Aku tak menjawab sedikit pun percakapan itu.
Ah, andai saja dia tahu bahwa hatiku telah beku. Tak tersisa lagi cinta untuk yang lain kecuali pemilik raga ini. Semua rasa telah kuterbangkan bersama perginya kekasih yang berkhianat.
Sidoarjo, April 2020
*Sebuah karya fiksi untuk Ibu Muthiah Alhasany, dalam rangka 10th berkarya di Kompasiana.Â
Semoga tetap sehat dan semangat berkarya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H