Lihatlah negeriku yang cantik, keelokannya mengundang mata binal hingga menelanjangi setiap lekuk tebing yang menjulang Â
Dengarlah orkestra alamku bersenandung, kicau burung bersahutan mengiringi deburan ombak menghantam karang
Pandanglah lukisan indah gugusan pulau milik ibu pertiwi, terhampar dari ujung ke ujung menawarkan kedamaian
Inilah bumiku, cantik, ramah, sopan dan menggairahkan bukan?
Namun, tetiba semua bergejolak, seolah terbangun dari tidur panjang dan menerjang tatanan
Kedatangan makhluk tak kasat mata telah memporandakan bentala, melahirkan bencana dan kekacauan
Semua berantakan, semua kewalahan
Timbul keresahan, hingga kematian
Anjuran menjaga jarak bertukar menjadi aturan
Tinggal di rumah dan meninggalkan keramaian menjadi keharusan
Kesucian bukan hanya untuk beribadah, melainkan adalah kewajiban
Hingga semua kerumunan fardu ditinggalkan
Tak lagi terdengar deru motor saling mendahului di pagi hari
Tak lagi tersebar asap pabrik yang selalu mencemari
Bahkan, tak ada lagi alasan doa bersama di rumah ibadah
Tak ada lagi kewajiban salat berjamaah di rumah Allah
Keadaan mewajibkan segala diheningkan, kesibukan dan kemaksiatan pun dihentikan
Segenap raga menghindar agar tak terpapar, apalagi terkapar
Pertanda apakah ini, bencana atau rencana Tuhan?
Apakah ini anugerah atau musibah yang menggempar?
Perlahan, alam menemukan kembali harmoni dan keindahannya
Langit membiru tanpa dikotori kepulan asap dari cerobong yang menjulang
Ikan berenang riang tanpa sampah limbah melumurinya
Burung berdendang riang tanpa bersaing dengan kebisingan
Dengan kembalinya kita kepada keluarga
Dengan rehatnya kesibukan kita dari segala rencana
Tuhan meminta kita untuk lebih dekat dengan-Nya
Kembali kepada fitrah sebagai manusia, yang seharusnya tunduk dan sujud atas kuasa-Nya
Bumi Gedangan, 13 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H