Mohon tunggu...
Anya Prilla Azaria
Anya Prilla Azaria Mohon Tunggu... Lainnya - Life enthusiast.

INFJ. Someone who loves psychology and philosophy. anya.prillaazaria14@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pamrih atau Tanpa Pamrih?

10 Juni 2022   21:03 Diperbarui: 10 Juni 2022   21:10 23136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mengambil Gambar. Sumber: Pixabay (PublicDomainPictures)

Memberi dan menerima. Merupakan suatu hal yang saling bergantung satu sama lain.

Jika ada yang memberi, pasti ada yang menerima. Begitu juga sebaliknya.

Bagaimana jika kamu diposisikan menjadi seseorang yang memiliki banyak uang dan memberi kepada orang yang membutuhkan?

Apakah yang kamu rasakan saat itu?

Ikhlas untuk kebaikan orang yang menerima

atau

Berharap sesuatu yang mungkin kamu tidak sadari

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pamrih memiliki arti maksud yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Keuntungan pribadi ini bisa bermacam-macam bentuknya, bisa berupa uang, atensi, kepopuleran, hubungan timbal balik, dan masih banyak lagi.

Dengan perkembangan zaman yang semakin masif, tentunya segala aksi yang kita lakukan akan terekam mau tidak mau di media sosial. Tapi sebetulnya, kita bisa kok memilih. Mau atau tidak untuk menunjukkan semua kebaikan yang akan kita perbuat?

Saya akan mencoba mengulas dua kisah.

1. Kisah Pertama

Ilustrasi Mengambil Gambar. Sumber: Pixabay (PublicDomainPictures)
Ilustrasi Mengambil Gambar. Sumber: Pixabay (PublicDomainPictures)

Kisah pertama ada seorang lelaki yang disebut dermawan. Dia selalu rajin memberikan uang ataupun makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tapi semua itu dilakukannya di depan kamera.

Dia selalu dalam keadaan diliput kamera saat melakukan donasi ke orang lain. 

Di sisi lain, orang yang diberi, berada di kondisi ekonomi yang tidak seberuntung orang tersebut. Orang yang diberi tentu awalnya akan senang menerima karena dia memang membutuhkan, entah uang ataupun makanan tersebut. 

Tapi apakah selanjutnya dia akan tetap senang?

Mungkin kalau hal itu terjadi tanpa liputan kamera, orang yang diberi tersebut akan tetap senang.

Menurut Widyanta, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), peristiwa ini berkaitan dengan 'komodifikasi kemiskinan'. Hal ini berkaitan dengan seseorang yang mendapat pengakuan dari adanya kemiskinan yang dijadikan komoditas. 

Kemiskinan itu dipertontonkan untuk membuat pihak yang memberi terkesan dermawan dan tentunya bisa meningkatkan kepopuleran, terlebih jika orang tersebut adalah seorang public figure.

Saya membayangkan apakah orang yang melakukan hal tersebut terpikir bahwa apa yang mereka lakukan bisa menyakiti orang yang diberi tersebut.

Betul, memberi adalah perbuatan yang mulia. 

Namun, segala sesuatu selalu akan dirujuk dari niat yang dipikirkan saat melakukan perbuatan tersebut.

''Always give without remembering and always receive without forgetting.''-Brian Tracy

Mungkin apa yang Brian Tracy katakan benar. 

Kita harus mencoba untuk memberi, tanpa harus selalu mengingat dan menghitung apa saja yang sudah kita beri.

Dan mencoba untuk menerima tanpa pernah melupakan siapa yang sudah memberi kepada kita.

2. Kisah Kedua

Ilustrasi Ketulusan. Sumber: Pixabay (Kristin McGill)
Ilustrasi Ketulusan. Sumber: Pixabay (Kristin McGill)

Kisah kedua ada seorang wanita yang selama hidupnya tidak pernah terlihat memberikan donasi kepada orang yang membutuhkan. Di sisi lain, image-nya di depan kamera adalah seseorang yang selalu hura-hura dan tidak peduli dengan kondisi di sekitarnya.

Sampai pada waktunya dia meninggal, terkuak bahwa dia adalah orang yang suka membantu orang lain yang kesulitan. Dia sering membantu bisnis UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), memberikan uang jajan bulanan kepada adiknya, dan memberi uang pada anak yatim piatu.

Semua itu dilakukannya dalam diam.

Tidak ada satupun orang yang tahu, kecuali orang-orang terdekatnya, sampai waktu setelah dia meninggal.

Bahkan ada beberapa keluarga dekatnya yang tidak tahu kalau dia adalah orang yang dermawan.

"Sincerety makes the very least person to be of more value than the most talented hypocrite."-Charles Spurgeon

Saya seratus persen setuju dengan quotes dari Charles Spurgeon ini.

Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja.

Walaupun orang tersebut terlihat tidak sedikitpun menunjukkan dia adalah orang yang dermawan, you can't judge them. 

Bisa saja orang tersebut sudah membantu ratusan atau bahkan ribuan orang yang membutuhkan tanpa siapapun tahu.

Atau di sisi lain, orang yang terlihat sangat dermawan di depan khalayak ramai atau kamera, pada kenyataannya tidak sedikitpun merasakan rasa lega, ikhlas, dan bahagia saat membantu orang lain.

Semua hanya tipuan kamera saja.

Jadi, kalau bisa memilih.

Ingin jadi versi yang manakah kamu? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun