Babak akhir pentas politik di Indonesia telah dimulai. Satu tahun sebelum perhelatan pemilu ini merupakan tahun politik yang kian hari semakin memanas dan selalu melahirkan isu-isu klasik yang setia mewarnai pemilu. Kemudian yang terbaru adalah mengenai sistem kepemiluan yaitu tentang wacana perubahan sistem pemilu yang biasanya memakai sistem proporsional terbuka, akan diganti menjadi sistem proporsional tertutup. Isu ini pun akhirnya mendapatkan atensi dari publik luas dengan respon beragam yang pastinya akan menarik untuk dibahas. Respon dari masyarakat dan juga pengamat tentu adalah respon yang sudah biasa dan sering muncul keatas permukaan ruang diskusi publik, lalu bagaimana jadinya jika yang merespon adalah partai politik itu sendiri? Kalau dilihat tentu tidak ada yang salah, akan tetapi respon yang beragam ini justru menjadikan KPU sebagai pemerintah berwenang dalam menetapkan sistem pemilu harus bekerja dengan sangat hati-hati dalam membuat kebijakan, sehingga nantinya sistem yang ditetpakan adil dan bisa diterima oleh semua partai politik pada pemilu 2024.
Sebelumnya KPU sudah menetapkan bahwa sistem pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional terbuka, kemudian keputusan ini pun disetujui oleh 8 parpol yaitu Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Disamping itu, partai yang menolak sistem pemilu proporsional terbuka ini adalah PDIP. Partai dengan lambang Banteng ini menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka menjadikan partai tidak bertanggung jawab dalam membina para kadernya. Sehingga PDIP tetap kukuh untuk mengusulkan penggunaan sistem proporsional tertutup pada pemilu 2024 nantinya. Lalu kenapa PDIP tetap bersikeras untuk tetap menginginkan sistem proporsional tertutup? Apakah ada alasan lain selain dari sistem partai dan kader, atau mungkin ini adalah salah satu strategi dalam memenangkan perhelatan lustrum pemilu akbar yang sedang disiasati oleh PDIP.
Dalam prespektif kajian Ilmu Politik, pemilu merupakan suatu hal paling mendasar yang membuktikan bahwa sebuah negara tersebut memang penganut sistem demokrasi. Sederhananya pemilu adalah salah satu pilar paling bawah dan kuat sebagai penyangga berdirinya demokrasi, jika suatu negara mengatakan bahwa mereka adalah negara demokrasi tapi tidak pernah melaksanakan pemilu, maka sudah jelas negara tersebut sama sekali bukanlah negara dengan sistem demokrasi. Selanjutnya, berbagai macam sistem dalam melaksanakan pemilu merupakan produk dari demokrasi itu sendiri. Sistem yang paling populer dan paling banyak digunakan adalah sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup.
Sederhananya, kedua sistem ini merupakan cara yang paling adil dalam menerapkan pemilu, tentu adil disini jika sistem yang digunakan sudah disepakati oleh mayoritas dan pihak penyelenggara pemilu. Sistem pemilu proporsional terbuka adalah sistem di mana pemilih nantinya akan memilih "seorang figur calon" sesuai dengan aspirasi dan keinginan mereka. Kemudian sistem proporsional tertutup adalah sistem di mana pemilih akan memilih partai politik tertentu saja, kemudian partai disini nantinya akan meberikan nama-nama calon sesuai dengan nomor urut kemudian akan dialokasikan sesuai dengan jumlah kursi di daerah pilih (Dapil). Kedua sistem ini tentu memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, akan tetapi untuk mendapatkan pemilu yang berkualitas kita tentu menginginkan sistem yang bisa memberikan win-win solution serta dampak positif terhadap demokrasi tanpa menghilangkan esensi keadilan terhadap peserta pemilu.
Kenapa PDIP Bertahan dengan Sistem Proporsional Tertutup?
Secara historis, PDIP merupakan salah satu partai besar dan kuat dalam sejarah kepemiluan di Indonesia. Partai ini merupakan partai yang memiliki banyak kader yang tersebar luas di seluruh daerah di Indonesia. PDIP memenangkan pemilu sebanyak 3 kali yaitu pada tahun 1999, 2014, dan 2019, kemudian partai ini juga selalu berhasil mengirimkan para kadernya ke Senayan Jakarta pada setiap pemilu meskipun bukan sebagai pemenang pemilu, akan tetapi karena perolehan suara yang selalu melewati sistem ambang batas perolehan suara (Threshold). Jika kita melihat sepak terjang PDIP dalam pemilu, maka kita akan menemukan fakta bahwa, partai ini selalu mendapatkan perolehan suara yang sangat banyak meskipun bukan sebagai pemenang pemilu. Dengan demikian penulis merasa bahwa dengan fakta inilah PDIP cukup confident dengan penggunaan sistem proporsional tertutup. Seandainya PDIP masih mampu mempertahankan hal ini, kemudian dengan sedikit modifikasi dan perombakan pada strategi dalam menarik simpati rakyat untuk memilihnya, maka ini adalah peluang yang cukup besar dan sayang jika tidak dipertaruhkan.
Sistem proporsional tertutup adalah sistem dimana semua aspek berfokus pada partai, dengan demikian hal hal yang memberatkan calon atau kandidat pada sistem proporsional terbuka akan menjadi nihil. Hal ini bisa berupa biaya kampanye, elektabilitas calon kandidat, ongkos politik dan lain sebagainya bertransformasi ke dalam tubuh partai. Lalu bagaimana kaitannya dengan budaya politik memilih di Indonesia? Tentu kita semua tahu bahwa ketika tahun-tahun politik di Indonesia datang, maka budaya politik transaksional akan kembali muncul ke permukaan. Jika diibaratkan zombie atau mayat hidup, maka budaya ini selalu muncul dan hidup kembali ketika pemilu tiba, kemudian berjalan menggerogoti setiap tahap dan proses pelaksanaan pemilu yang bukan hanya pada pemilih saja, akan tetapi juga pada kandidat dan partai itu sendiri.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sistem pemilu proporsional terbuka memang selalu menciptakan budaya politik transaksional yang tidak baik yaitu berupa politik uang, patron politik dan lain sebagainya. Akan tetapi sistem politik proporsional terbuka setidaknya bisa menjadi salah satu pendorong bangkitnya demokrasi yang baik. Karena tentu pada hakekatnya setiap kita berhak untuk memilih dan dipilih, jika sistem priporsional terbuka diganti dengan sistem proporsional tertutup maka kita tidak bisa memilih pemimpin sesuai dengan keinginan kita. Akan tetapi juga banyak yang mengatakan bahwa budaya politik transaksional justru akan berpindah ke dalam tubuh partai, yaitu sesama kader partai, sehingga nantinya politik uang, patronase politik dan hal lain akan terjadi di dalam interal partai. Disamping itu, sistem proporsional tertutup mewajibkan pemilih untuk memilih partai dan nantinya partai sendiri yang menentukan siapa yang akan memperoleh kursi jabatan. Hal ini tentu membuat partai memang harus bisa menjadikan partainya sebagai sebuah titik kutub magnet yang bisa menarik semua kepercayaan voter. Dengan demikian, semua faktor pertimbangan pemilih dalam memilih calon atau kandidat pada sistem proporsional terbuka, harus bisa diadopsi partai ke dalam tubuh partai, kalau tidak tentu pemilih tidak akan yakin memberikan suaranya yang berharga.
Dari semua faktor yang dijelaskan sebelumnya, penulis yakin bahwa PDIP selaku sebuah partai yang akan mengikuti pemilu nantinya, temtu sudah memikirkan hal tersebut. Dari fakta sejarah bahwa mereka selalu kuat dalam setiap pemilu, sudah cukup menjadi modal awal dalam mengikuti pemilu yang jika seandainya menggunakan sistem proporsional tertutup. Jadi, dengan atau tanpa calon yang memiliki elektabilitas baik yang bisa meningkatkan elektabilitas partai, PDIP tetap bisa mendapatkan suara pemilih. Pulau Jawa khususnya Jawa Tengah adalah basis suara dari partai ini, kemudian dengan sedikit perubahan strategi yang matang untuk mendapatkan suara di daerah lain, maka memperoleh suara bukanlah hal yang sulit untuk Partai Banteng ini.Â
Disamping itu, semua aspek-aspek yang dimiliki oleh partai PDIP ini belum tentu dimiliki oleh partai lainnya, terkhusus partai baru yang masih belum mendapatkan tempat di hati para pemilih. Partai baru dan belum memiliki segudang pengalaman dan hal lainnya seperti yang dimiliki oleh PDIP tentu akan kesulitan dalam mengatur straetegi untuk menghadapi pemilu, apalagi jika nantinya sistem pemilu disahkan menggunakan sistem proporsional tertutup. Tentu ini akan menjadi sebuah PR yang sangat besar bagi sebagian partai. Sehingga ini adalah semacam siasat PDIP dalam melawan partai politik lainnya terkhusus partai-partai baru yang sebenarnya juga cukup diminati oleh para pemilih. Jika pemilu adalah sebuah peperangan, maka sekaranglah waktunya, dan perang itu sudah dimulai.
Hemat penulis, meskipun PDIP memiliki kelebihan dan kekurangan dari partai lainnya, tapi tidak akan mengubah fakta bahwa mereka adalah partai yang kuat dalam politik dan kepemiluan di Indonesia. Penulis yakin bahwa selain dari cita-cita PDIP yang ingin merubah pola kepartaian dan juga mengubah budaya politik transaksional antara calon kandidat dan pemilih pada sistem pemilu proporsional terbuka, penolakan PDIP terhadap sistem ini juga merupakan strategi dalam memenangkan pemilu 2024 nantinya.