Mohon tunggu...
Adhe Nuansa Wibisono
Adhe Nuansa Wibisono Mohon Tunggu... -

Adhe Nuansa Wibisono. Pemuda ini lahir di Jakarta, 3 Agustus 1988 sebagai putera ketiga dari pasangan Ahmad Effendi dan Fauziatie Affriatie Chaniago. Menempuh pendidikan TK, di TK Mini Bu Kasur Jakarta (1992-1994), dilanjutkan ke SD Muhammaddiyah 5 Jakarta (1994-2000), kemudian di SMP Muhammadiyah 9 Jakarta (2000-2003), SMA Negeri 70 Jakarta (2003-2006). Saat ini sedang menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) jurusan Hubungan Internasional angkatan masuk 2006. Di sekolah menengah pernah menjabat Ketua Umum Karate-do SMAN 70 Jakarta (2004-2005) dan Kadep Kaderisasi ROHIS SMAN 70 Jakarta (2004-2005). Di dunia mahasiswa pernah diamanahi sebagai Kadiv Pengkajian KAMMI Komisariat UGM (2008-2009), Ketua Rumpun Sosial Humaniora KAMMI Komisariat UGM (2008-2009) dan Ketua Umum KAMMI Komisariat UGM (2009-2010). Penerima Beasiswa Pembinaan Kepemimpinan Muda PPSDMS Nurul Fikri (2008-2010) sekarang sedang menyelesaikan tugas akhir untuk mencapai gelar sarjana ilmu politik. Meminati bidang kajian Politik, Sosial-Budaya, Seni, Filsafat Agama dan Timur Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kesetaraan Hak Pilih untuk Penyandang Disabilitas

22 Maret 2014   15:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:37 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adhe Nuansa Wibisono*

Peneliti Hak Asasi Manusia, The Habibie Center

Reaksi penolakan yang cukup keras disuarakan oleh berbagai kelompok penyandang disabilitas terhadap pernyataan KPU Pusat mengenai tidak tersedianya template braille bagi para pemilih tunanetra dalam surat suara DPR dan DPRD untuk Pemilu Legislatif 2014. KPU Pusat menyatakan bahwa template braille hanya tersedia untuk surat suara DPD dan Pilpres dengan alasan varian surat suara yang terlalu banyak dan akan menyebabkan peningkatan anggaran untuk pencetakan template braille (Pikiran Rakyat, 8/3). Dengan tidak tersedianya template braille tersebut maka pemilih tuna netra yang mencapai 1.754.689 jiwa (Pikiran Rakyat, 7/3) akan mengalami kerugian dan diskriminasi politik dalam menyalurkan hak pilihnya.

Apakah masalah template braille untuk penyandang tunanetra ini sudah mewakili semua permasalahan penyandang disabilitas dalam pemilu, ataukah ini hanya puncak gunung es dari berbagai masalah lainnya? Sebagai bagian dari warganegara Indonesia, para penyandang disabilitas juga memiliki hak pilih yang sama dengan warganegara lainnya. UU No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas menjamin hak pilih para penyandang disabilitas dalam pemilu. Undang-Undang ini juga menyebutkan negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak penyandang disabilitas dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan dalam pemilu.

Menurut data Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN) dari Kementerian Sosial, pada 2010, menyebutkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berjumlah sebesar 11,580,117 orang dengan perincian 3,474,035 orang adalah tuna netra/penyandang disabilitas penglihatan, 3,010,830 orang adalah tuna daksa/penyandang disabilitas fisik, 2,547,626 orang adalah tuna rungu/penyandang disabilitas pendengaran, 1,389,614 adalah tuna grahita/penyandang disabilitas mental dan 1,158,012 adalah penyandang disabilitas kronis.

Hal ini menunjukkan jumlah yang signifikan bahwa berdasarkan data PUSDATIN ini jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 4,8 persen dari 240 juta penduduk Indonesia (BKKBN, 2013). Dengan jumlah yang cukup besar seperti itu sudah semestinya pihak penyelenggara pemilu seperti KPU memberikan perhatian agar hak pilih sekitar 11,5 juta orang penyandang disabilitas tersebut tidak hilang dalam proses pemilu ke depannya di Indonesia. Pemenuhan kewajiban hak politik penyandang disabilitas sebagai warganegara Indonesia yang dilindungi oleh undang-undang.

Problem Ketidaksiapan KPU

Tidak tersedianya template braille untuk penyandang tunanetra dalam surat suara DPR dan DPRD dalam Pemilu Legislatif 2014 menunjukkan ketidaksiapan KPU Pusat dalam menjamin hak pilih para penyandang disabilitas dalam pemilu kali ini. Padahal penyediaan template braille baik untuk surat Suara Pilpres, DPR, DPRD dan DPD telah berhasil dilakukan pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Mengapa kemudian dalam Pemilu 2014 penyediaan template braille ini tidak dapat dilakukan secara optimal?

Walaupun demikian Pemilu 2009 tetap meninggalkan catatan bagi KPU dimana terdapat kasus ketika banyak petugas TPS tidak mengetahui informasi mengenai kertas suara untuk penyandang disabilitas, kurangnya sosialiasi oleh KPU mengenai template braille kepada panitia TPS membuat template braille tersebut tidak digunakan secara optimal dalam proses pemilihan di TPS, bahkan kebanyakan panitia TPS tidak membuka template braille tersebut dan membiarkannya tetap berada di kardus.

Problem lainnya adalah belum tersedianya daftar pemilih tetap (DPT) bagi penyandang disabilitas di KPU yang menunjukkan KPU belum serius untuk menjamin kesetaraan hak pilih para penyandang disabilitas. Mengingat jumlah penyandang disabilitas yang mencapai 11,5 juta orang seharusnya KPU dapat memberikan perhatian lebih besar dalam melakukan pendataan DPT bagi penyandang disabilitas. Seharusnya proses pendataan KPU bisa dioptimalkan melaui kerja sama dengan BPS atau lembaga terkait.

Seringkali para penyandang disabilitas diabaikan ketika ingin menyalurkan hak pilihnya, misalnya pemilihan lokasi TPS yang harus dicapai melalui tangga yang tentu saja tidak memungkinkan bagi pemilih yang menggunakan kursi roda. Selain itu juga respon bantuan dari panitia TPS yang lambat dan kurang ramah terhadap penyandang disabilitas dalam menyalurkan hak pilih juga menjadi catatan. Problem mendasar lainnya adalah berbagai alat kelengkapan pemilu yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas seperti bilik suara yang terlalu kecil, meja pemilih yang terlalu tinggi dan penempatan kotak suara yang menyulitkan penyandang disabilitas untuk memilih.

Aksesibilitas dan Hak Pilih

Aksesibilitas bagi setiap pemilih merupakan kewajiban bagi negara untuk menyediakannya, termasuk juga aksesibilitas untuk penyandang disabilitas. Kemudahan fasilitas dan lokasi TPS merupakan hal sederhana yang sangat penting dan dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas dalam menyalurkan hak pilih. Sehingga sudah sewajarnya KPU dapat memberlakukan standar TPS yang ramah terhadap semua kelompok pemilih terutama bagi penyandang disabilitas.

Pintu TPS sebaiknya memiliki lebar 90 cm karena ukuran lebar kursi roda rata-rata adalah 85 cm. Agar para pengguna kursi roda dapat memasuki bilik suara dan menyalurkan hak pilihnya secara mudah maka pembuatan pintu bilik dengan lebar 90 cm menjadi sesuatu hal yang dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas.

Kemudian mengenai meja pemilih sebaiknya jangan terlalu tinggi, karena jika terlalu tinggi akan menyulitkan para penyandang disabilitas terutama penyandang tuna daksa untuk menyalurkan hak pilihnya. Meja dengan ketinggian sedang akan memudahkan para penyandang disabilitas dalam menyalurkan hak pilihnya.

Usulan lain yang kemudian muncul adalah mengenai kotak suara yang sebaiknya tidak ditaruh di atas meja. Karena jika posisi kotak suara ditaruh di bawah meja akan lebih memudahkan bagi penyandang disabilitas terutama bagi pengguna kursi roda dan penyandang tuna daksa dalam memasukkan kertas suara ke dalam kotak suara.

Selain itu lokasi TPS jangan ditempatkan pada lokasi yang hanya bisa diakses melalui tangga karena akan menyulitkan penyandang disabilitas. Area di sekitar TPS sebaiknya tidak memiliki rumput yang tebal dan jangan menempatkan TPS dekat dengan lokasi seperti parit agar tidak menimbulkan resiko dan kesulitan bagi para penyandang disabilitas. Lokasi TPS dapat disiapkan di daerah yang landai yang juga memungkinkan bagi pemilih lansia, ibu hamil dan penyandang disabilitas agar mudah untuk menyalurkan hak pilih.

Peningkatan kapasitas KPU dan KPUD dalam pelayanan hak pilih untuk penyandang disabilitas juga menjadi hal yang penting untuk segera dilakukan. Para penyandang disabilitas memiliki berbagai kebutuhan khusus terkait sosialisasi tata cara pemilihan dan proses pemilihan di TPS, misalkan : 1. Kebutuhan audio untuk penyandang tuna netra, 2. Kebutuhan visual untuk penyandang tuna rungu, 3. Akses jalan bagi pengguna kursi roda di bilik suara untuk penyandang tuna daksa, dan 4. Pendampingan dari keluarga atau panitia TPS yang ditunjuk oleh keluarga bagi para penyandang tuna grahita. Kemudina penyediaan template braille bagi pemilih tunanetra agar disiapkan secara baik dan tidak diabaikan oleh para petugas TPS.

Evaluasi perlu dilakukan terhadap KPU agar kasus-kasus yang pernah terjadi di lapangan terhadap penyandang disabilitas tidak terulang kembali ke depannya. Diperlukan sosialisasi dan pelatihan oleh KPU bagi para petugas TPS agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik yang kemudian dapat menjamin kesetaraan hak pilih untuk penyandang disabilitas dalam Pemilu 2014.

* Adhe Nuansa Wibisono adalah peneliti isu hak asasi manusia di The Habibie Center

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun