Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, yaitu yang memiliki fisik tangguh, mental kuat dan kesehatan prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM (1). Kurang energi protein (KEP) pada anak umur dibawah lima tahun (balita) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
 Salah satu masalah yang masih membelit bangsa kita adalah masih tingginya anak bawah lima tahun (balita) dengan status gizi buruk. Hal ini dapat kita liat dengan masih tingginya prevalensi stunting (anak perawakan pendek) dan wasting (berat badan tdk sesuai dgn tinggi badan, seperti kurus atau kurus sekali). Berdasarkan Hasil Riskesdas 2015 prevalensi anak berada disekitaran 35 %, itu artinya setiap tiga anak indonesia satu mengalami masalah stunting.
Stunting merupakan manivestasi dari dampak status gizi anak masa lalu yaitu mulai saat kehamilan sampai usia 2 tahun. Ketika ibu-ibu semasa hamil kurang gizi dapat mengakibatkan anak yang dilahirkan menjadi berat badan lahir rendah (BBLR). Begitu juga ketika anak usia 0-6 tahun jika tidak mendapatkan Air susu ibu (ASI) secara eksklusif dan ketika umur 6-24 bulan tidak mendapatkan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dengan jumlah dan kualitas yang sesuai untuk tumbuh kembang anak.
Masa umur dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Gizi buruk dapat mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional otak yang bersifat permanen walaupun telah terjadi pemulihan dari stadium akut. Defisiensi zat gizi makro mempengaruhi neuroanatomi, neurokimia dan neurofisiologi dari perkembangan otak. Defisiensi zat gizi makro dapat mengakibatkan hipomyelinasi dan lebih jauh lagi mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama awal perkembangan otak.
Penanganan kasus gizi buruk selama ini hanya berupa pemberian makanan tambahan (PMT) kepada kasus, tanpa memperhatikan akar permasalahannya. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai ahli gizi, biasanya penanganan hanya dapat efektif untuk jangka pendek, dan biasanya setelah penanganan akan kembali lagi menjadi kasus gizi buruk. Kenapa demikian??? karena akar permasalahan tidak diselesaikan. Kita hanya bisa mendidik masyarakat untuk memperbaiki pola konsumsi mereka yang mendukung tumbuh kembangnya, tetapi ketika yang dimakan tidak ada atau tidak mencukupi, pekerjaaan yang tidak layak,. Bukankan itu urusan negara?? bukannkah Negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya??.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H