Berbicara guru berarti kita berbicara bagaimana nasib guru, kesejahteraan guru dan tentunya imbas yang paling besar adalah bagaimana nasib generasi bangsa di tangan para guru. Karena bangsa yang maju adalah bangsa yang bagaimana menjadikan guru orang nomor satu yang sepatutnya diperhatikan dan dimuliakan. Bagaimana tidak, bercermin dari negeri sakura Jepang ketika tahun 1945 luluh lantak dibom atom oleh tentara sekutu mampu bangkit dari keterpurukan. Dengan gagah berani dikala itu Kaisar Hirohito mengemukakan sebuah pertanyaan yang lebih dahsyat dari bom atom Nagasaki dan Hiroshima itu sendiri. Apa gerangan pertanyaan yang mengguncang dunia itu “Berapa banyak guru yang masih hidup?”.Lalu apa alasan sang kaisar menanyakan nasib guru?. Sang kaisar beralasan bahwa dengan gurulah kita akan membangun peradaban dan mampu bangkit dari kehancuran.
Lebih lanjut kaisar berpendapat dengan melihat guru seperti melihat sebuah masa depan yang cerah yang telah dijanjikan untuk dunia ini. Guru di mata kaisar betapa bernilainya. Kaisar memiliki pemikiran jauh ke depan, menurutnya, bangsa Jepang telah jatuh karena kita tidak belajar. “Kita kuat dalam senjata dan strategi perang, namun kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu, kalau kita semua tidak bisa belajar, bagaimana kita akan mengejar mereka?” Ungkap kaisar menyakinkan semua jenderal yang hadir kala itu kebingungan atas pertanyaan sang kaisar. Para jenderal mengungkapkan bahwa mereka masih mampu menyelamatkan dan melindungi kaisar walau tanpa guru.
Dari paparan diatas, terlihat jelas bahwasannya betapa bernilainya seorang guru di mata kaisar saat itu sama dengan betapa bernilainya guru saat ini. Ketika kita sebagai guru begitu bernilai bagi keberlangsungan bangsa ini, lalu apa yang harus dilakukan sang guru. Guru harus mampu berinovasi menjadi garda terdepan dalam mencetak manusia Indonesia seutuhnya, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Di pundak para guru generasi penerus bangsa ini dibebankan. Kemudian bagaimana dengan guru itu sendiri. Menyikapi ini semua, guru seyogyanya menjadikan hal ini bukan beban namun menjadi sebuah tantangan menuju perubahan yang lebih baik dengan peningkatan kompetensi guru. Sehingga apa yang diemban oleh profesi guru menjadi mulia adanya. Sebagai sebuah profesi, tentu guru dituntut profesional. Profesionalitas guru dilihat baik dari karakter maupun dalam kinerjanya.
Secara simbolis negara menaruh hormat yang tinggi kepada guru dengan menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru. Itu menandakan ungkapan bahwa guru merupakan pahlawan bagi kemajuan pendidikan suatu bangsa. Pahlawan bukanlah hanya seorang yang rela berkorban darah demi sebuah tujuan. Guru merupakan seorang pahlawan walau tak pernah mengorbankan darahnya, namun dia mengajar, membimbing, menjadi teladan menuju sebuah kemerdekaan yaitu kemerdekaan dari kebodohan serta kemiskinan ilmu. Harus kita akui bahwa peranan guru dalam kehidupan umat manusia sangatlah penting, bahkan luar biasa pentingnya. Untuk itu negara memberi jaminan perlindungan terhadap guru melalui undang-undang. Pasal 39 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan negara melindungi guru dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lainnya.
Mantan Mendikbud, Anis Baswedan pernah mengungkapkan program memuliakan guru ini, bahkan beliau memiliki rencana bagaimana guru diberikan pelayanan yang diistimewakan atau VIP-kan. Pemuliaan guru tentu menjadi suatu dorongan bagi para guru untuk selalu istiqomah dengan profesi yang diemban, guru harus mumpuni, guru selalu berinovasi, guru selalu meningkatkan kompetensi, guru menyadari marwah keagungan profesi dan dedikasi, yang tak kalah pentingnya guru selalu belajar sepanjang hayatnya. Guru tak pernah mengeluh dengan tugas yang diembannya.
Guru dituntut juga memuliakan dirinya dalam tugasnya sebagai pendidik di kelas. Guru harus mengubah pola pengajaran yang memandang bahwa peserta didik sebagai bejana yang siap diisi, hanya menghasilkan interaksi satu arah yaitu dari guru ke peserta didik. Hal ini harus segera diubah. Paradigma pendidikan ke depan adalah memandang pikiran peserta didik sebagai api yang harus dinyalakan. Hal ini akan menciptakan interaksi timbal balik dalam proses belajar dan mengajar. Guru bertugas menyalakan, memancing, dan memunculkan kreativitas dan karakter peserta didik. Akhirnya peserta didik dengan sendirinya akan mengekspresikan potensi-potensi kreatif mereka. Paradigma seperti ini akan menghadirkan sikap saling memuliakan antara siswa dan guru. Sehingga dengan sendirinyalah guru mulia di mata peserta didik dan masyarakat. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H