Mohon tunggu...
anwar abugaza
anwar abugaza Mohon Tunggu... Dosen - Penulis bidang politik dan sosial media

penulis buku social media politica

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Membaca Arah Politik Pasca Pilkada Serentak 2017

28 Maret 2017   13:41 Diperbarui: 28 Maret 2017   13:49 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilkada serentak 2017 baru saja berlalu, saya baru tersadar untuk kembali menulis, dan konsen saya adalah tentang realitas politik yang terjadi di Indonesia melalui potret lembaga survey, dan pengaruh social media dalam demokrasi, dan hasilnya bisa kita saksikan pada pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Takalar di Sulawesi Selatan.

Kita mulai dengan pilkada DKI Jakarta yang telah telah menyedot hampir semua perhatian masyarakat Indonesia, dan tidak salah kalau ada yang mengatakan pilkada rasa pilres, selain diikuti oleh tiga kontekstan pilkada Jakarta juga menjadi ajang pembuktian keampuhan lembaga survey nasional, semua lembaga telah merilis hasil sebelum proses pilkada, pasca penetapan kandidat dan jelang masa tenang, hasilnya tidak mencerahkan justru membingunkan pemilih, data yang disajikan saling berlawanan antara satu dengan yang lain, sebut saja lembaga survey tertua di Indonesia Lembaga Survey Indonesia (LSI) menampilkan hasil akhir seperti yang rilis tribunnews.com, jumat 10 Februari 2017 pasangan agus-silvi 30,9 persen, Ahok-Jarok 30,7 dan anise-sandi 29,9 Persen, merujuk dari hasil akhir KPU tentu hasil ini jauh dari kenyataan.

Kemudian masuk pada konteks lokal di Sulawesi Selatan tepatnya di Takalar, Pilkada ini awalnya tidak menarik sama sekali, last minute patahana akan melawan kotak kosong, namun untunglah seorang Syamsari Kitta yang sudah tiga kali mengukuti pilkada mendapat dukungan dari Partai Nasdem, ibarat kata Syamsari lolos dari lubang jarum, perjalan pilkada Takalar mulai seru setelah di bumbui oleh potret memotret oleh pengamat dan juga lembaga survey, dan hampir semua sepakat ketika ada patahana  maju dan berpaket dengan wakilnya belum ada sejarah di Indonesia akan kalah, dan biasanya akan menang dengan mudah, seperti yang di rilis oleh lembaga survey terpercaya sulsel CRC seminggu jelang pemilihan 61persen untuk HB-HN berbanding 39persen SK-HD, namun lagi hasil real count KPU sampai terinput 97,44 pemenangnya adalah SK-HD, muncul kembali pertanyaan apa yang terjadi dengan lembaga survey.

DKI Jakarta dan Takalar memilih kesamaan dalam titik ekstream isu dan isu ini sangat laku dan mudah dijual di sosial media, penista agama untuk Jakarta dan kasus korupsi untuk Takalar, lembaga Social Media Monitoring semisal POLITICAWAVE di Jakarta melihat sosial media digunakan untuk meredam isu penista agama dan tim ahok mampu melakukannya dengan baik dan akhirnya kandidat mereka lolos putaran kedua bersama Anies-Sandi, sementara pasangan Agus-Silvi yang menempati posisi buncit tidak terlihat sama sekali usaha untuk memaksimalkan sosmed dan selalu kalah dalam ajang debat yang banyak sekali dipenangaruhi suara riuh para netizen. Sementara lembaga WWCOMM di Sulsel memotret kasus korupsi yang tersebar luas di sosmed dan jadi perbincangan di takalar mampu mengurangi perolehan suara pasangan patahana HB-HN, dan kemampuan tim SK-HD memainkan isu tentang calonnya akhirnya memberi kenaikan suara.

Saya ingin mencoba menarik korelasi kedua kejadian diatas pilkada Jakarta dan pilkada Takalar, dengan trend politik hari ini, ada potret lain dalam demokrasi di Indonesia yang mulai berkembang dan mulai menunjukan eksistensinya yaitu bertambahnya pemilih cerdas  dari golongan berpendidikan dan pemilih pemula yang dipertemukan pada kemanjuan teknologi informasi dalam wadah social media terutama Facebook, Twitter dan Instagram, pemilih cerdas ini bebas mengekspresikan ide dan gagasannya dengan kandidat yang didukung dan realitas politik yang ada dan memberi pengaruh pada pemilih disekitarnya, dalam buku social media politica porsi pemilih yang menggunakan sosial media biasanya memiliki 30 persen dari jumlah pemilih secara keseluruhan, dan pemilih inilah yang sangat susah di potret oleh lembaga survey.

Dari dua pengalaman ini ada simpulan-simpulan menarik yang bisa kita ambil, yang pertama telah terjadi pergeseran pola dan cara berpolitik masyarakat dari waktu ke waktu yang semula sangat tradisional dengan kampanye baliho dan brosur beralih menggunakan sosial media yang memiliki ruang kreativitas yang tidak terbatas, kedua potret lembaga survey semakin hari mulai tergerus tingkat kepercayaannya dipublik bisa diakibatkan oleh keberpihakan dengan kandidat yang menghilangkan unsur ilmiah dari penelitian itu atau karena potret data dari responden yang sudah mulai jenuh akhirnya memberi jawaban yang tidak akurat olehnya kedepan riset lembaga survey harus mengkolaborasikan data-data lapangan dengan sosial media.

Ketiga tentunya dengan pengalaman beberepa event politik yang telah berlalu keberadaan lembaga social media monitoring yang memotret pemilih secara realtime conversation dari sosial media harus diberi ruang, agar menjadi pembanding data dari lembaga survey konvensional, dan yang keempat jelang pilkada serentak 2018 setiap kandidat yang akan bertarung harus mulai melihat sosial media sebagai satu kekuatan yang akan menentukan kemenangan.

Penulis :

Anwar Abugaza

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Dan pemerhati Sosial media

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun