Mohon tunggu...
Anwar Abdallah
Anwar Abdallah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

We are Young and Free !

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Di Mana Karya Anak Sekarang?

19 Desember 2013   15:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:44 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya adalah suatu hasil penciptaan ekspresi dari proses pemikiran, penghayatan dan pembuatan yang mungkin memerlukan waktu serta terdapatnya pesan atau makna yang membangun dari/bagi penciptanya. Karya dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti lukisan, film, tulisan, musik, dsb. Banyak karya yang fenomenal yang mampu menarik perhatian orang karena sang pencipta berhasil menyampaikan pesan yang dikandung dalam karyanya sehingga orang lain dapat menikmati sentuhan mendalam dari sang pencipta di dalam hati dan fikirannya. Namun di balik itu, banyak pula karya-karya “paksaan”, artinya adalah karya yang dibuat merupakan karya yang kurang memperhitungkan segi penghayatan dan pemikiran dari dalam jiwanya serta melupakan pesan apa yang ingin disampaikan sehingga hanya sebagai ajang ikut-ikutan atau bisa jadi karya tersebut dibuat untuk mendapatkan keuntungan semata yang sesuai dengan selera pasar atau yang sudah tidak awam lagi. Sebagai contoh yaitu karya musik. Musik, merupakan karya yang paling berpengaruh dalam perkembangan di masyarakat, karena hampir di setiap acara selalu disuguhkan konser musik untuk menghibur suasana. Tak lepas dari itu, musik juga dapat mempengaruhi jiwa dan pemikiran dalam diri penikmatnya (seperti karya-karya lain). Baik anak-anak maupun dewasa, semua memiliki selera musiknya masing-masing. Namun, kita sebagai orang dewasa tidak memikirkan kalau lagu-lagu yang diperuntukkan remaja dinikmati pula oleh anak-anak. Menjadi hal yang berbahaya jika mereka (anak-anak), mendengarkannya setiap hari apalagi sampai menyanyikannya. Ini akan mempersempit dunianya di mana mereka tidak lagi dapat berekspresi layaknya anak-anak. Karya yang seperti inilah yang disebut sebagai karya yang merusak,  karena pencipta tidak memperhitungkan untuk siapa karyanya dinikmati. Seperti pada video clip band Wali dalam lagunya “Cari Jodoh”, di situ nampak jelas mereka bernyanyi di tengah kerumunan orang dan mereka pun tampak santai mendendangkan lagunya. Namun, mereka tidak menyadari bahwa di sekeliling mereka terdapat pula anak-anak yang mereka “paksa” untuk menikmatinya. Begitupun jika kita memperhatikan anak-anak jalanan yang bernyanyi lagu-lagu remaja, meski mereka tak begitu lancar dalam melafalkan liriknya, namun dengan petikan gitar seadanya, mereka tetap semangat bernyanyi. Seperti tak ada lagu lain yang bisa mereka hafal. Ini menandakan, di Indonesia sudah tidak ada lagi generasi pembangun untuk menigkatkan kreatifitas pada anak-anak, khususnya. Tak seperti pada era tahun 90-an, di mana Trio Kwek-Kwek, Jhosua dan Sherina masih bernyanyi dalam tema membangkitkan semangat imajinasi anak-anak. Jika kondisi seperti ini dibiarkan terus, maka tak pelak mereka pun menjadi anak-anak yang berfikir dewasa terlalu dini, apalagi mereka yang tanpa pendidikan atau bimbingan positif dari orang tuanya.

Televisi (salah satunya), sebagai media penyampaian informasi, edukasi dan berbagai macam hiburan, berperan penting pengaruhnya dalam perkembangan masyarakat. Melalui program-program acara yang disuguhkan, masyarakat menyimak apa isi dari program acara tersebut. Sehubungan dengan hal di atas, pernahkah kita menghitung ada berapa jumlah program acara yang bernuansa musik disetiap stasiun televisi dalam satu hari?. Mungkin anda akan menemukan beberapa konsep umum acara yang dibuat oleh stasiun-stasiun televisi, seperti audisi penyanyi/band, menebak lirik/judul lagu, atau pun konser musik itu sendiri. Dengan adanya konsep tersebut, stasiun televisi pun sibuk menyisipkan jadwal tayang program acara bernuansa musik untuk disuguhkan pada masyarakat. Dan, munculah band-band baru yang memperuntungkan nasibnya dengan karya-karya asal mereka. Begitu pun calon-calon penyanyi yang mengikuti audisi, tak terkecuali anak-anak. Memang, dari audisi tersebut mereka bisa menyalurkan bakatnya dari usia kanak-kanak, tetapi apakah pantas seorang anak dipaksa untuk menyanyikan lagu remaja bertemakan cinta pada pasangannya dan itu dipentaskan?, seperti yang terjadi pada salah satu program acara yang kita hitung tadi. Mungkin, bagi para orangtua merasa bangga karena anaknya mampu bernyanyi, tetapi mereka tidak tahu dampaknya setelah anak-anak mereka beranjak dewasa nanti. Perkembangan kejiwaan anak-anak yang sudah dicokok lagu remaja tentu berbeda dengan anak yang mendengarkan lagu yang bisa membangkitkan imajinasi kekanak-kanakannya. Anak-anak, seperti yang kita tahu, mereka adalah peniru nomor 1(satu) di dunia. Jadi, apa yang mereka lihat akan mereka ingat dan mereka akan mencobanya/menirunya sendiri. Sedangkan, band-band saat ini sedang gencar-gencarnya bersaing dengan hanya membuat lagu yang mudah didengar (easy listening) tanpa memikirkan isi dari lagunya. 1001 cerita dari kata cinta, tetapi lagu-lagu mereka begitu umum dan terdengar seperti hanya itu-itu saja. Anak-anak tentu akan mudah mengingat sebaris/dua baris lirik lagu dari band-band kesukaan mereka. Dan, anda akan menemukannya jika anda perhatikan anak anda sendiri, anak yang anda temui di jalan atau anak yang berada di lingkungan anda. Namun, masih teringat dipikiran kita, hanya ada satu stasiun televisi yang masih peduli menayangkan video clip untuk lagu anak-anak, Space Toon (sekarang – NET tv , red) – walaupun akhirnya sudah tidak lagi ditayangkan. Mereka tak berfikir untung/rugi karena telah menyuguhkannya. Mereka tetap menayangkannya meski penyanyi cilik itu tak begitu terkenal. Dari sini, barulah kita tahu bahwa masyarakat kita saat ini sedang membutuhkan suatu hiburan. Namun, tak ada satu pun hiburan yang bisa memberikan pendidikan. Seperti yang sering kita lihat di salah satu stasiun televisi yang hanya menyajikan tontonan goyangan yang tidak jelas "juntrungannya", apa manfaatnya bagi anak kita nanti?, ironisnya, karena tontonannya "cuma" itu-itu aja, lagunya "cuma" itu-itu aja, lho kok ya jadi saingan sama stasiun tv sebelah?, yang diperagakan oleh crew-nya (mungkin karena belum punya ikon yang mumpuni), otomatis karena pilihan tontonan stasiun tv kita kebanyakan hanya antara sinetron dan goyangan itu tadi, kita "cuma" bisa pasrah. Alih-alih mencari keuntungan dengan menambah jumlah pemirsa setianya. Anak-anak menjadi korban tontonan televisi. Anak yang sedianya selalu ingin tahu dan peniru ulung (tanpa tahu apa akibatnya nanti), yang secara terus-menerus menonton siaran tersebut, maka akan menghafal lagu-lagu yang dinyanyikan dan meniru goyangan-goyangan apa yang ia lihat. Ditambah dengan peran dari orangtua yang kurang dalam membimbing anaknya atau kurangnya pengetahuan orangtua akan pentingnya sisi imajinasi anak, yang hanya melihat dari segi hiburannya saja, maka tak ayal, akan jadi apa anak-anak kita nanti.

Dari sinilah peran serta kita akan diuji, bagaimana perkembangan anak-anak kita nanti. Bahwa peran serta orangtua dalam pengawasan terhadap segala hal yang dilakukan oleh anak adalah penting. Dan bahwa tidak ada yang selalu memberikan penjelasan, arahan dan bimbingan selain diri kita atau orangtua.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun