Aku, menembus malammu yang tak terbatas, untuk menghapus prahara yang sampai kini belum terjawab. Setapak menjajaki batu-batu yang menggigil dan hembus angin yang mendesir. Setumpuk kerikil sesekali menggoyahkan tubuhku yang beku saat roda tebal berjalan melintas di atasnya. Gemuruh suara yang ku tarik dari lentiknya pergelangan tangan, mengusik ribuan mata yang terjajar lelap. Rembulanpun nampak ciut memperlihatkan anggun tubuhnya yang merona sepertiga, tertutup sekat-sekat kecanggungan senja. Riuh besi-besi tua mendesing, menolak dirinya untuk berjaga oleh yang punya karena waktu yang tak lagi muda. Cahaya temaram menyala redup di atas pelupuk mata, di setiap sisi jalan panjang. Namun.., kulihat sekelompok manusia sedang asyik menghibur diri, di sudut balai reot yang hangat dengan tawa reda. Mereka menyapaku dengan senyuman kekerabatan bersahaja. Saat perlahan sambil menganggukkan kepala dan simpulan bibir menyala, terdengar sahutan syahdu dan petikan merdu mengiringi tarian-tarian jemari tanpa sadar diri yang mereka hiasi di sela kewajiban yang tak datang di kala siang. Sementara, kepalaku ling-lung dan fikirku lelah setelah ku coba sambung ketidakpastian dari angka-angka yang kau berikan untuk menyapamu dan mempertahankan keindahan. Akupun melawan kehendak diri dengan menembus malam, dengan langkah perlahan sambil membayang angan.
Dalam benak yang bergetar tak henti berputar, melihat heningnya deretan yang ditinggali pemati suri di pasopati. Aku takut, karena malam yang pekat dan dingin yang menyingkap berkali-kali kupecahkan dengan kekhawatiran yang bergelora dan bisikan dari plat baja menerpa, memilik satu mata dari mereka yang mengintipku di balik guratan-guratan kecurigaan. Maka, ia akan menceritakannya di pagi buta pada setiap mulut yang tiada henti bercerita. Namun, aku takkan kembali tanpa ada sesuatu yang tidak diketahui olehmu, yang mungkin akan menjadi tanya dalam dirimu sendiri sehingga tak ada lagi tanya yang mengusikku nantinya dan ia menjadi perantara kasihku. Prahara yang menjadi pelik di keindahan taman kita yang kini belum menjadi jawab, mungkin lain kali akan kutanya padanya. Dengan sepercik pesan yang kutinggalkan di pelataran rumahmu, walaupun kecil dan tiada berharga dirinya, setidaknya sudah menjadi penyinggung hadirku malam itu. “Hah… sudahlah”, lirih hatikupun mengeluh setelah kutitipkan salam padanya untuk menyapamu di fajar yang belum sempat menyilaukan mata. Karena langkah waktu yang memaksaku kembali, ia seakan meyakinkanku untuk menunggu, mungkin esok akan ada kabar burung yang mengiang di telingaku tentangmu. Ya.., akupun kembali, meninggalkan deretan rumah yang kokoh yang dinginnya lebih pekat dibanding mereka yang tidur dengan berbantalkan telapak tangan dan berselimutkan debu. Dan aku harus menggayuh dua loncatan rumahmu agar tak ada mata lain dalam tendamu melirik. Dengan pandangku yang masih tertinggal di halamanmu, aku paksakan diri ini menjauh pergi dan malam ini akan menjadi malam yang hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H