Tere Liye, dalam novelnya; Negeri di Ujung Tanduk, menuliskan “Politik tidak lebih adalah permainan terbesar dalam bisnis omong kosong, industri artifisial penuh kosmetik yang pernah ada di dunia. Sebagaimana sebuah bisnis omong kosong dijalankan, kita harus berdiri di atas ribuan omong kosong agar omong kosong tersebut menjadi sesuatu yang bisa dijual dengan manis, dan dibeli dengan larisnya oleh para pemilih.”
Novel itu jelas merupakan karangan fiksi, bukan didasarkan teori-teori politik. Tapi pesan yang disampaikan dalam novel itu menggambarkan realita yang terjadi dalam politik. Para pakar politik takan menuliskan hal itu dalam teori mereka, karena teori-teori politik yang mereka paparkan pun tak lebih dari “teori omong kosong.”
27 Juli 2016, kita menyaksikan dengan seksama. Rangkaian politik omong kosong benar-benar di praktekikan oleh politisi negeri ini. Sebuah lembar kelam telah terukir dalam catatan sejarah politik Indonesia.
Reshuffle Kabinet Kerja
Siang itu, Istana Negara sedang ramai oleh para petinggi negara dan wartawan. Presiden Joko Widodo mengumumkan perombakan kabinet (reshuffle)Kabinet Kerja. Reshufflesejatinya biasa dalam politik, itu merupakan hak prerogatif presiden. Tapi yang mencengangkan adalah reshufflleini sarat kepentingan politik. Kita dipertontonkan politik omong kosong, dimana wacana politik “dukungan tanpa syarat” yang dijual Jokowi pada pilpres 2014 hanyalah sebuah drama politik belaka.
Kala itu, Jokowi berjanji jika terpilih maka ia akan memilih jajaran kabinet dari kalangan profesional. “Terima kasih atas dukungan penuh dan tanpa syarat ini kepada kami. Kami sangat menghargainya karena dukungan ini tidak hanya tanpa syarat tetapi juga disertai dengan pengorbanan yang luar biasa PKPI. Ini adalah sebuah bentuk dukungan baru karena tidak ada bagi-bagi kursi, bagi-bagi kekuasaan melainkan murni hanya untuk kepentingan bangsa dan negara," kata Jokowi dalam sambutan saat menerima deklarasi “dukungan tanpa syarat” dari Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI) di kantor DPP PKPI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis (22/5/2014).
Setelah dinyatakan menang dalam pilpres dan resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Jokowi seperti menjilat ludahnya sendiri. Baru beberapa hari dilantik, ia langsung mengkhianati rakyat dengan sangat gamblang lewat komposisi Kabinet Kerja. Dari 34 kursi menteri di Kabinet Kerja, sebanyak 15 orang berasal dari partai politik dan 19 orang dari kalangan profesional. Nyata sekali praktik bagi-bagi kursi, bagi-bagi kekuasaan pada partai politik dan tokoh yang mengantarkannya pada kursi RI-1. Ia menyebut 15 orang yang berasal dari partai itu sebagai kalangan “profesional partai.” Sungguh politik omong kosong!
Omong kosong itu nampak lagi dalam perombakan Kabinet Kerja 27 Juli lalu. Jokowi berusaha mengakomodasi kepentingan partai yang ketika pilpres memilih menjadi oposisi, kini berbalik mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) mendapat jatah kursi menteri. Masuknya dua partai ini menandai kemenangan politik Jokowi di parlemen atas kubu oposisi Koalisi Merah Putih yang kini hanya tinggal menyisakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra. Partai Demokrat tetap konsisten menjadi “penyeimbang.”
Selain mengakomodasi partai politik, dalam reshuffleini Jokowi mengakomodir pula organisasi keagamaan. Tokoh Muhammadiyah dimasukan dalam susunan Kabinet Kerja. Jokowi ingin mengamankan posisinya dari tekanan parlemen dan tekanan masyarakat.
Tidak ada makan siang yang gratis. Ungkapan itu cocok untuk mengambarkan politik Jokowi ini. Jangan pernah percaya lagi jika nanti ada yang mengatakan “dukungan tanpa syarat”
Ahok Deklarasikan Maju Melalui Parpol