Tsunami Selat Sunda yang melanda Banten dan Lampung adalah satu dari sekian banyak bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2018. Menurut data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Benana (BNPB), hingga September 2018, telah terjadi 1.999 kejadian bencana alam. Bencana yang paling banyak terjadi adalah bencana hidrometeoroogi seperti banjir dan puting beliung.
Selain tsunami yang terjadi di Banten dan Lampung, dua bencana yang terbesar di tahun 2018 adalah gempa di Nusa Tengara Barat (NTB) serta gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Gempa di Nusa Tenggara Barat terjadi pada 29 Juli 2018. Akibat gempa  berkekuatan 6,4 SR tersebut, 564 orang meninggal dunia, 1.886 orang luka-luka, 11.510 orang mengungsi, dan mengakibatkan kerusakan serta kerugian  yang ditaksir mencapai Rp. 18,47 triliun. Pergeseran Sesar Naik Flores  (Flores Back Arc Thrust). Dalam kurun Juli hingga Agustus 2018, pergeseran sesar tersebut menyebabkan sejumlah gempa besar bekekuatan 6,4; 7,0; 6;3; dan 5,9 yang menimpa Lombok dan sekitarnya.
Belum sembuh luka warga Lombok,, gempa berkekuatan 7,7 SR menggoyang Kota Palu dan Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah  pada Jumat, 28 September 2018. Gempa itu juga mengakibatkan tsunami di pantai Palu yang mencapai1,5 meter. Gempa itu juga menyebabkan likuifaksi (pencairan tanah) di sejumlah wilayah Kabupaten Sigi. Menurut data BNPB, sebanyak 2.113 orang meninggal dan 4.612 luka-luka akibat gempa Palu-Donggala. Gempa tersebut dipicu pergerakan Seras Mendatar (strike-slip fault) Palu-Koro yang sifat geraknya mengiri (sinistral).
Bencana besar kembali menimpa Indonesia di penghujung tahun 2018, tepatnya pada 22 Desember 2018.  Daerah pesisir Banten dan Lampung dihantam gelombang tsunami  setinggi 2 meter yang diakibatkan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau. Aktivitas erupsi tersebut mengakibatkan 64 hektar bagian tubuh Gunung Anak Krakatau longsor sehingga tejadilah longsor bawah laut yang bersamaan dengan gelombang tinggi akibat faktor cuaca sehinggamengakibatkan gelombang tsunami. Hingga 29 Desember 2018, BNPB mencatat 431 orang meninggal dunia, 15 orang masih dinyatakan hilang, 7.200 orang terluka dan 46.646 orang terpaksa mengungsi.
Meskipun sudah banyak ilmuwan yang menjelaskan penyebab bencana yang terjadi secara ilmiah. Namun sebagian masyarakat mengaitkannya dengan persoalan politik, agama, dan kondisi masyarakat yang tidakada hubungannya dengan gempa atau pun tsunami.
Dalam kasus gempa Lombok, dukungan mantan gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Zainul Majdi, kepada Joko Widodo dianggap oleh sejumlah pihak menjadi penyebab bencan. Hal-hal semacam itu dapat ditemukan di kolom komentar unggahan Instagram Zainul bertanggal 29 Juli 2018.
"Telah mulai nampak sedikit cobaan mungkin pertanda jeritan alam akibat pemimpin suatu negeri zalim. Ingatlah dan renungkan apa kesilapan yang pernah diperbuat kalau tidak mau didatangkan musibah yang lebih dahsyat lagi. Mohon sabar kepada saudaraku yang disana semoga dapat hikmah dibaliknya. #2019gantipresiden."
"6.4 SR mungkin masih dianggap kecil oleh sebagian pecinta TGB (red: Tuan Guru Bajang, gelar untuk Muhammad Zainul Majdi). Bisa jadi 8,9 SR adalah guncangan hebat di hati mereka para pecinta TGB setelah mereka tahu sosok yang dicintai itu berbelok arah politiknya (kecewa). Jadikan ini sebuah pelakaran untuk semuanya dan ambil hikmah terbaik. Turut berduka atas musibah ini (musibah alam & musibah politik) salam santun!!! #2019gantipresiden"
"Tidakkah kau sadar wahai TGB itu musibah sebagai teguran atas keputusanmu untuk mendukung orang-orang munafik."
Dalam kasus gempa dan tsunami Sulawesi Tengah, Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Ahmad Zanid Hamidi menyebut bahwa gempa dan tsunami yang  menimpa Palu dan Donggala diakibatkan maraknya Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).