Bagi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), politik bukanlah pekerjaan sampingan, melainkan sebuah jalan kebajikan untuk memastikan kesejahteraan dan kenyamanan individu warga negara. Sebabnya, kesejahteraan memang tidak cukup dilihat dari kacamata rakyat bebas dari kemiskinan, tetapi kesejahteraan terwujud bila individu masyarakat sepenuhnya bisa bebas dari segala rasa takut, bebas berpendapat, dan bebas menapaki jalan kehidupan yang mandiri sesuai dengan hati nurani mereka.
Konsepsi pemikiran ini pula yang dijalankan oleh PSI dalam 4 tahun terakhir, dari partai ini lahir, mengikuti verifikasi Kemenkumham dan KPU, sampai menjadi partai politik peserta Pemilu 2019 dan mendapatkan suara 2% atau setara 3 juta suara.
Melihat PSI beranjak, tentu saja berbeda dengan melihat partai politik peserta pemilu lain tumbuh. PSI jamak kita perhatikan seolah mengabaikan isu-isu terkait ekonomi. Mereka lebih banyak menyebar wacana soal kebebasan individu dengan batasan kebebasan orang lain sebagai garis demarkasinya.
Sebagaimana sifat dan cara kerja partai politik libertarian, kader-kader PSI fokus pada isu terkait keragaman, toleransi, korupsi, keadilan, hingga kesetaraan gender. Lihat saja sikap politik PSI dalam beberapa tahun belakangan. Mengutuk berbagai tindakan perusakan atau pembakaran rumah ibadah, membela habis-habisan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat divonis bersalah kasus penistaan agama, menolak segala bentuk peraturan daerah (Perda) berbasis agama, menolak poligami, bersikap keras terhadap segala tindakan korupsi, hingga berjuang untuk Meiliana, warga Tanjung Balai Sumatra Utara yang divonis hukuman 18 bulan penjara.
Eksperimen politik yang ditempuh PSI ini tentu bukan tanpa risiko yang besar. Sebab, arus yang dilawan adalah logika mayoritas. Pun isu ini kurang seksi secara elektoral untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Tetapi, saya melihat PSI tidak terlalu peduli soal itu. Di samping para kadernya masih muda, pun tak seorang pun politisi PSI memiliki beban yang membuat mereka tanpa ragu menabrak sendi-sendi yang masuk dalam kategori sensitif ini.
Banyak partai politik memiliki platform nasionalis, tetapi tak satu pun darinya berani secara vulgar menyuarakan toleransi dalam sikap politik karena persoalan takut ditinggal pemilih. Banyak partai politik yang rajin pula menyuarakan jargon antikorupsi, tetapi membiarkan kadernya, eks narapidana koruptor, kembali mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif. Bahkan parahnya berniat jahat melemahkan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
PSI tentu memiliki matematika politik sendiri. Hitungan yang dianggap banyak orang-orang sebagai hal yang konyol dan tidak berpikir panjang karena mengabaikan pragmatisme elektoral. Bagi PSI, memenangkan pemilu memang penting, tetapi lebih penting lagi membumikan nilai toleransi dan nilai antikorupsi di bumi Indonesia. Artinya, tuntutan politik PSI adalah kebebasan yang merata untuk semua orang. Hal tersebut memperjelas pula tujuan mereka lahir di perpolitikan Indonesia.
Namun, bergerak hanya dengan modal idealisme, caleg-celag PSI belum mampu memikat pemilih yang terbiasa dengan bahasa-bahasa kesejahteraan yang selama ini dijual oleh PDI Pejuangan, Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Nasdem. Sebab, jargon terkait negara kesejahteraan melalui kebijakan politik, pemerataan dan pengentasan kemiskinan adalah narasi yang seksi dan jamak beredar di wacana politik kita.Â
Lebih lagi, warisan piramida kekuasaan Orde Baru, seperti Golkar, birokrasi, dan TNI, kini telah berubah dengan wujud mengikuti format baru budaya patronase politik Indonesia. Di PSI tidak ada purnawirawan TNI yang menjadi politisi, hal yang lumrah kita saksikan di partai-partai nasionalis lain. Pun jaringan birokrasi PSI masih sangat lemah karena fragmentasi identitas mereka sebagai partai politik tidak ditopang oleh mantan aktivis di era 1960 - 1990-an dari organisasi mahasiswa, seperti HMI, GMNI, PMII, GMKI, PMKRI, hingga Pemuda Muhammadiyah yang bergerak secara bersama-sama.
Memang, di PSI, ada beberapa mantan aktivis, tetapi jumlahnya relatif bisa dihitung dan datangnya beragam tanpa ikatan emosional masa lalu yang kuat pula. PSI mungkin memiliki argumen tersendiri soal ini. Di samping isi pengurusnya adalah anak-anak muda yang umurnya 17 - 45 tahun, juga PSI sejak awal mendesain diri untuk bersih-bersih dari segala pakem lama pendirian partai politik. Alasannya tentu tidak lepas dari sikap ingin melepas relasi patron-klien antara senior dan junior yang sangat feudal dan mengikat.
Itu sebabnya saya melihat orientasi politik PSI tidak bicara soal menang atau kalah di kotak suara. Karena, rumusan apa yang mereka tuju tidak mengenal bahasa menyerah, kekalahan, bahkan membuat anak-anak muda PSI justru lebih bersemangat. Penyebabnya, jika yang menjadi indikator utama adalah persoalan umur dan urusan domestik individu kader, tentu perjalanan kader-kader PSI masih sangat panjang di perpolitikan Indonesia.Â