"A teacher affects eternity; he can never tell where his influence stops." (Henry Brooks Adams)
Kita mungkin sudah sering mendengar julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Julukan itu bukan hanya untuk menggambarkan keikhlasan seorang guru, tetapi juga mengungkapkan bahwa kita sering melupakan nasib para pahlawan ini. Para guru memang tidak mengharapkan penghrgaan berupa tanda jasa, tapi tidak berarti kita tidak memberi penghargaan yang layak untuk jasa yang besar dari para guru.
Dewasa ini, kesejahteraan para guru di Indonesia sudah tergolong lumayan. Program pemerintah yang memberi tunjangan khusus sertifikasi guru sangat membantu meningkatkan kesejahteraan para guru. Masalahnya kemudian sebagian besar penerima tunjangan itu hanyalah para guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Lalu bagaimana dengan guru yang berstatus honorer? Nasib mereka masih sangat memprihatinkan.
Kita mungkin sudah sering mendengar betapa mirisnya kehidupan mereka. Para pendidik yang mendedikaskan hidupnya untuk kecerdasan anak bangsa ini harus membagi waktu antara mengajar dengan pekerjaan lain demi memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya sehari-hari.
Dikutip dari laman liputan6.com, seorang guru honorer di Solo bernama Sarto (41 tahun) harus nyambi sebagai pemulung untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Pasalnya, selama 13 tahun mengabdi sebagai guru honorer ia hanya diberi honor 250 ribu rupiah per bulan. Honor yang masih sangat jauh dari kata layak.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat, total guru honorer yang ada saat ini mencapai 732.833 orang. Yang memprihatinkan, dari jumlah guru honorer sebanyak itu hanya 383.609 guru mengantongi ijasah sarjana tapi belum lulus sertifikasi  pendidikan guru, sisanya sebanyak 349.224 guru honorer lainnya tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) karena tak memenuhi syarat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara (ASN). (Sumber: Pikiran Rakyat)
Untuk para guru honorer yang memenuhi syarat, pemerintah dapat mengambil opsi untuk mengangkat mereka menjadi ASN atau dengan skema Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (P3K) untuk ditempatkan di daerah terdepan, terluar dan terpencil. Tetapi untuk mereka yang tidak memenuhi syarat, pemerintah tidak boleh 'membuang' mereka begitu saja. Pemerintah semestinya mengambil kebijakan untuk membantu meningkatkan kualitas mereka agar dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut. Mereka mempunyai modal yang sangat besar, yaitu mereka telah mempunyai pengalaman dalam mendidik.
Sebagai solusi sementara, mungkin pemerintah harus memulai memikirkan untuk menetapkan standar upah yang layak bagi para guru honorer ini. Setidaknya, dengan upah yang layak mereka akan lebih fokus untuk mendidik sekaligus berupaya untuk meningkatkan kualitas mereka. Tidak adanya standar upah ini, membuat para guru honorer harus rela menerima berapapun honor yang diberikan kepada mereka.
Kita tentu sangat yakin, bahwa para guru yang mendidik anak-anak kita tentu bekerja dengan ikhlas dan sepenuh hati. Tapi kita juga harus menyadari, bahwa merekajuga mempunyai beban untuk memenuhi kesejahteraan pribadi dan keluarga mereka. Oleh karena itu, memperjuangkan nasib para guru terutama guru honorer seharusnya menjadi perjuangan kita semua. Selamat Hari Guru!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H