Mohon tunggu...
Anwar Abbas
Anwar Abbas Mohon Tunggu... Lainnya - Berbagi Inspirasi

Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS) yang ingin berbagi manfaat dengan menulis...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sumpah Pemuda dan Generasi Millenial

24 Oktober 2017   10:29 Diperbarui: 24 Oktober 2017   11:01 4893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Batavia (sekarang Jakarta) pada tanggal 27-28 Oktober 1928, menjadi saksi berkumpulnya pemuda-pemuda dari berbagai daerah di Nusantara dalam wadah Kongres Pemuda Kedua. Kongres ini adalah salah satu tonggak utama dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, jauh sebelum Soekarno dan Hatta memproklamasikannya pada 17 agustus 1945. Perjuangan pemuda-pemuda di daerah masing-masing dalam menentang penjajahan, yang selama ini bersifat parsial dan kedaerahan, disatukan dalam satu semangat yang sama, dalam satu visi yang sama, bernama Indonesia. 

Jauh sebelum proklamasi, para pemuda telah menegaskan sebuah cita-cita akan adanya satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahsa bernama Indonesia. Dalam kongres bersejarah ini pula, komponis Wage Rudolf Soepratman untuk pertama kalinya memperkenalkan gubahannya yang berjudul Indonesia Raya. Indonesia Raya, pada akhirnya menjadi lagu kebangsaan Negara Republik Indonesia.

Sejarah pemuda tidak berhenti sampai disitu, di tahun 1966 muncul sebuah gerakan yang dipelopori oleh Kesatuan Akis Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menyuarakan tiga tuntutan yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan TRITURA atau Tri (Tiga) Tuntutan Rakyat. Ketiga tuntutan itu adalah Pembubaran Partai Komunis Iindonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.

Aksi tritura mencapai puncaknya pada tanggal 24 Pebruari 1966, ketika salah seorang aktivis mahasiswa Arief Rahman Hakim meninggal setelah insiden dengan resimen tjakrabirawa, yang kemudian disusul dengan pembubaran Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sehari setelahnya. Namun kejadian itu, justru menyulut militansi para pemuda dengan terus melakukan aksi-aksi demonstrasi yang menimbulkan ketidak stabilan politk, hukum, dan keamanan, pada akhirnya "memaksa" Soekarno untuk mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR), yang menjadi awal dari mundurnya Soekarno dari panggung politik Indonesia.

Tahun 1998, bagai dejavu. Sejarah kembali berulang, pada bulan Mei 1998 Mahasiswa kembali turun ke jalan menuntut perubahan (reformasi) atas pemerintahan Soeharto yang dianggap otoriter. Aksi itu semakin memanas ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti yang menggelar aksi damai meniggal akibat tindakan represif yang dilakukan aparat. Puncaknya, 19 Mei 1998 mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR RI yang kemudian diikuti dengan mundurnya Soeharto dari tahta kepresidenan sehari setelanya.

Apa arti dari semua itu? Saya ingin menegaskan, bahwa dalam catatan panjang sejarah Bangsa Indonesia, sejarah pemuda adalah sejarah perjuangan. Pemuda adalah pelopor, sekaligus pejuang kemerdekaan. Pemuda adalah penjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan tidak kalah pentingnya, pemuda adalah pejuang keadilan yang selalu memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat.

Tapi, apa yang terjadi sekarang ini? Di era yang disebut-sebut sebaga era milenial, masihkah para pemuda mempertahankan jati diri mereka sebagai sosok-sosok pejuang yang idealis? Atau sebaliknya terperangkap dalam hedonisme dan pragmatisme zaman?

Era milenial yang ditandai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, melahirkan generasi-generasi milenial yang juga sangat tergantung pada keberadaan teknologi. Celakanya, perkembangan teknologi yang sangat pesat ini sangat mengancam kehidupan sosial manusia. Manusia di era milenial, cenderung hidup soliter, asyik dengan dirinya, dan asyik dengan dunianya. Pesatnya teknologi yang serba memudahkan, membuat manusia merasa bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa memerlukan interaksi dengan banyak orang. Interaksi sosial antar individu, justru terjadi lebih banyak di dunia maya ketimbang di dunia nyata.

Keadaan seperti ini, membuat generasi muda menjadi apatis dan kehilangan kepekaan pada kondisi sosial masyarakat sekitarnya. Lebih parah lagi, ketika keadaan-keadaan tersebut memicu pragmatisme dalam berpikir. Para pemuda tidak lagi memiliki semangat perjuangan, apalagi semangat perlawanan. Tidak semua memang seperti itu, tapi sebagian besarnya seperti itu. Mudah-mudahan saya salah dalam hal ini.

Momentum peringatan sumpah pemuda pada 28 Oktober 2017 nanti, seharusnya menjadi momentum bagi kebangkitan pemuda-pemuda Indonesia. Membangkitkan semangat dan kesadaran para pemuda Indonesia sebagai generasi pejuang, dan generasi pelopor. Karena pada hakikatnya, yang paling berhak atas negeri ini adalah para generasi muda, karena merekalah yang akan menjadi pewaris bangsa dan negara ini. Oleh karena itulah, para pemuda tidak boleh cuek dan apatis pada kondisi bangsa dan negara ini. Ketika masyarakat mulai terkotak-kotak dalam kekuatan politik tertentu, maka pemuda diharapkan berada di tengah, konsisten untuk terus memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun