Langit mulai mendung.
Dan bulan telah tenggelam bersamaan dengan turunnya rintik-rintik hujan.
Hawa dingin pun dengan cepat merasuki sendi sendi malam itu.
Namun, di sudut desa, tiga orang pemuda tak sedikit pun terganggu dengan perubahan alam yang mulai mendadak berganti haluan. Secangkir kopi nan lembut menemani obrolan tiga orang pemuda yang semakin lama semakin memanas, mengalahkan dinginnya sang malam. Lampu yang remang-remang pun kian menambah hangat suasana yang ada.
“Pak, apa kita harus diam saja, melihat kondisi desa seperti sekarang ini ?” seru pemuda pertama dengan lirih. Sebut saja namanya cak Moh.
“Tentu tidak cak, bagaimana mungkin kita bisa diam saja sedangkan hati kita tersiksa melihat kondisi desa yang semakin parah,” ucap pemuda yang kedua datar sambil sedikit menghela nafas. “Kita harus berjuang cak, kita harus berjuang !” walau bekerja di luar desa, dedikasi pemuda yang disebut pak Komar ini tidak diragukan lagi. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang berfikir sedikit maju, disaat yang lain berfikiran stagnan.
Pemuda yang ketiga tetap terdiam. Diambilnya segelas kopi seraya mendengarkan dua orang temannya yang lagi berfikir keras menghadapi problematika pedesaan. Mungkin, ini bukan urusan sepelik urusan negara, bukan pula konflik hebat sebagaimana di daerah Timur Tengah. Akan tetapi, bagi para pemuda ini, desa mereka adalah tempat dimana mereka tinggal, tempat dimana keluarga mereka mengais nikmat dan yang terpenting lagi yaitu tempat dimana orang-orang yang mereka cintai bersandar dan berteduh.
Tiba-tiba dengan suara agak tinggi, cak Moh pun bertanya,“Trus, bagaimana kita berjuang pak? ..Apakah anda tidak tahu pemuda kita lebih senang mabuk-mabukan dan tawuran dari pada sekedar berfikir masalah desa? Tentu anda juga mengerti bagaimana para penguasa desa hanya bisa diam ketika desa kita terjajah? Uang terlalu kuat pak, uang telah menjadi tujuan akhir sehingga alam dikorbankan, rakyat ditelantarkan dan penguasa terbungkam.”
“Tentu saya sadar cak, tapi saya tetap punya keyakinan yang kuat bahwa tidak semua pemuda seperti itu. Banyak dari mereka yang masih memiliki kepedulian yang tinggi terhadap desanya. Hanya saja, mereka hanya lagi tertidur. Dan disaat orang-orang yang baik terdiam maka suara-suara yang tidak baik lah yang terdengar agak keras. Lah...tugas kita cak, untuk membangunkan orang-orang yang tertidur itu.” jawab pak Komar dengan tenang. Tak lupa kopi yang terletak di samping kanannya dia minum dengan pelan-pelan. Alunan lagu dangdut tahun 80-an semakin menambah nikmat suasana yang semakin malam semakin dingin.
Kali ini, pemuda yang ketiga mengangguk-ngangguk tanda setuju sembari tetap terdiam menyimak obrolan yang semakin lama semakin menarik.
Sementara itu, cak Moh berupaya menenangkan dirinya. Diminumnya segelas kopi seraya kembali bertanya,”mungkinkah mereka akan bangun pak ?” dengan nada optimis pak Komar pun menimpali, “kenapa tidak? Janganlah menyerah sebelum bertanding ! Yang kita harus lakukan hanyalah berusaha dan berusaha, berjuang dan berjuang, berdoa dan berdoa. Sisanya, kita pasrahkan pada dzat yang maha membolak-balikan hati, Tuhan semesta alam.” Seakan sadar akan keberadaan pemuda yang sedari tadi terdiam, pak komar pun berkata, “bukan begitu mas?” sambil menepuk bahu pemuda yang ketiga itu.
“Ya pak, sepakat.” Jawab pemuda itu singkat.
Selang beberapa detik, cak Moh pun juga menyadari keberadaan sesosok pemuda disampingnya yang dari tadi hanya terdiam dan mengangguk-anggukan kepala itu. Tidak butuh waktu lama, tiba-tiba dengan sedikit asupan kopi yang sudah mulai mendingin, cak Moh pun bertanya,” Menurutmu gimana mas?”
Pemuda ketiga yang sering kali dipanggil mas Jose itu pun membisu sejenak, seakan menarik diri sesaat untuk menyiapkan kata-kata.
Di sisi lain, hujan sudah mulai agak mereda. Si penjaga warung juga mulai membereskan apa yang bisa dibereskan. Sedangkan sang malam, tertunduk dengan sejuta kantuk yang mulai mendera.
Dengan tenang mas Jose pun mulai membuka suara. “Kita pernah berjuang pak, kita pernah berjuang cak. Apakah kalian lupa? ” dengan suara agak parau mas jose pun melanjutkan,” Kita dulu pernah membangunkan mereka, para pemuda bahu-membahu berfikir, menghabiskan daya dan upaya untuk kemajuan desa. Kita berhasil menggulingkan para setan desa dan menyatukan pemuda. Tetapi...”
suara mas Jose tertahan sejenak. Diminumnya segelas kopi yang tinggal setetes bercampur ampas, seraya kembali berkata“ tetapi...kita hanya salah langkah, yang kita bangunkan hanyalah raga mereka dan bukan kesadarannya. Sehingga ketika raga itu lelah atau didera tuntutan hidup, raga itu akan kembali tertidur...dan berkali kali kita bangunkan pun akan kembali tertidur...”
Cak Moh pun membisu, begitu pula pak komar. Keduanya terlihat menganggukan diri tanda setuju dengan ucapan mas Jose barusan.
Cak Moh dan pak Komar sebenarnya sadar bahwa sebagai tokoh pemuda masalah yang paling sulit diatasi adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat desa, terutama pemuda desa untuk ikut berjuang menjaga dan melestarikan desa.
Melihat si penjaga warung sudah mulai menutup jendela warungnya. Pak Komar pun bergegas mengakhiri pembicaraan tersebut. “gimana cak Moh? Mas Jose?...Uda malam. Kapan-kapan kita lanjut lagi pembicaraannya..alhamdulillah sudah menemukan titik temu.”
Sembari mencari kunci motor, yang sebenarnya ada dalam sakunya sendiri, cak Moh pun menimpali, “iya pak, nanti kita lanjut lagi..sekalian mengajak pemuda-pemuda yang lain untuk dibangunkan dan disadarkan. Bukan e begitu mas Jose ?”
“wah,,sepakat kalau itu pak...masak yang di perantauan aja bisa mencintai desanya dalam ketiadaan..lha.. kita yang jelas-jelas desanya kita injak, kita buat tidur, kita buat beribadah, kita buat mencari nafkah justru kita lupakan keberadaannya..he he.” Gelak tawa nan optimis pun menyertai langkah mereka meninggalkan gelas-gelas kopi yang tidak lagi bertuan.
#suatu malam, di pojok desa.
Oleh: Anwar Syarif
24 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H