Mohon tunggu...
A Nur Fuadi
A Nur Fuadi Mohon Tunggu... lainnya -

JURNALISTIK | ILMU KOMUNIKASI | UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA | 11730015

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tugas Sekolah

9 Oktober 2013   01:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:48 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

....(Kriiing)....
Suara bel berbunyi sebelum para siswa apel pagi dan memasuki ruang kelas masing-masing. Terlihat para siswa berjajar memanjang berjalan rapi meninggalkan lapangan apel. Dan, ruang kelas yang semula sepi, kini ramai, hidup seperti pasar.
“Rul, sekarang waktunya pelajaran apa rul?” tanya Rudi pada Irul, teman sebangkunya.
Tapi, sebelum pertanyaan itu dijawab oleh Irul, Ibu Guru yang akrab dengan sapaan Ratna memasuki kelas. Ya, ruang kelas yang semula hiruk-pikuk penuh keramaian, perlahan senyap. Terdengar beberapa suara masih berkicauan. Namun, saat itu, semua mata sepakat untuk serentak bersama-sama menatap Bu Ratna yang kebetulan memakai rok mini yang kira-kira berada 3 cm diatas lutut.
“Selamat pagi anak-anak” sapa bu Ratna dengan suara gemulai.
Dengan nada jelas siswa-siswa serentak menjawab, “se-la-mat-pa-gi-bu-Rat-na”.
Sejak saat itu, nyaris hanya ada satu suara di ruang kelas. Betapa tidak, tiap pasang mata tak mau beranjak dari Bu Ratna. Semua telinga yang bisa mendengar masih terus secara seksama menyerap semua perbendaharaan kata yang bebas keluar dari mulut bu Ratna.
Sampai...sampai.. tidak ada yang merasa bahwa jam pelajaran Bahasa Indonesia sudah hampir selesai. Tiba-tiba, sebelum kelas usai, bu Ratna berkata.
“Baiklah anak-anak, Ibu ada tugas untuk kalian”.
Beberapa siswa tiba-tiba bersorak kesal “huuuuuu....”
“Tenang... tenang... tugas dari Ibu tidaklah susah. Setelah ini, kalian tentunya akan menjalani libur panjang. Nah, tugas dari Ibu adalah ceritakan melalui tulisan pengalaman-pengalaman yang kalian alami selama liburan. Bagaimana anak-anak, mudahkan?”. Dengan gaya lemah-lembut nan gemulai, Ibu Ratna menjelaskan.
“Iya, Bu”, siswa-siswa serentak bersorak gembira mendengar tugas yang mudah itu.
“Baiklah anak-anak, Ibu rasa, kita cukupkan dulu pelajaran hari ini”. Tegas bu Ratna sembari merapikan berkas-berkas dan absensi yang dibawanya hari itu.
“Iya, Bu”. Senada dan selaras suara dari para siswa kembali menggema di ruang kelas.
Jam sekolahpun usai. Irul, Rudi dan Yanto duduk bersama menyantap makanan kecil. Dan, mereka saling bertanya keman mereka akan berlibur.
“Rud, kemana kau akan menghabiskan liburanmu?”, tanya Yanto.
Rudi yang kebetulan anak orang kaya dan serba kecukupan, dengan nada santai namun angkuh menjawab.
“Mungkin aku akanke Bali, mengunjungi tempat-tempat wisata, bertemu banyak turis. Dan, ke Nusa Dua tentunya”, ucap Rudi.
“Kalau kau, Rul?” Rudi melanjutkan.
“Kalau aku ke Jakarta, berlibur bersama keluarga di rumah nenekku. Ke ancol juga tentunya”, tutur Irul.
Irul dan Rudi masih asyik menimpali pembicaraan mereka tentang Bali dan Jakarta. Mereka juga saling sombong dan pamer dengan kekayaan yang mereka miliki.
Tiba-tiba, dengan kompak Irul dan Rudi bertanya “Hei Yanto, kemana kau akan berlibur?”
Yanto yang sedang menundukkan kepala sembari menikmati makanan ringan, tertegun. Dia kebingungan. Betapa tidak, ayah yanto adalah seorang penganggur. Ibunya, penjual sayur keliling komplek perumahan di pagi hari. Tentu, penghasilannya tidak menentu.
“Aku tidak akan kemana-mana, aku hanya akan membantu orang tuaku di rumah”.
“Serius kau, Yan?”, tanya Rudi heran.
“Ya, Rul... Rud... “, jawab yanto lesu, malu tidak bepergian seperti kedua temannya.
Liburan pun mereka jalani...
Rudi ke pulau Bali, Pulau Dewata. Menikmati turis dan keindahan pantai bali. Rudi juga ke Nusa Dua. Sangat mengasyikkan tentunya.
Si Irul dan keluarganya, setelah hari itu, bergegas ke jakarta. Disana, di rumah sang nenek. Bertemu, bertegur-sapa dengan sanak famili. Mereka juga ke Ancol, menikmati roller coaster dan seluruh fasilitas yang ada di Ancol. Tak kalah asyik dengan Rudi.
Sedangkan Yanto... berbeda dengan Rudi dan Irul yang keduanya sama-sama asyik menjalani liburan. Yanto yang seorang anak tukang jual sayur, masih berada di rumah. Menatapi dinding-dinding dan langit-langit di dalam rumah. Ya, dia masih dan sedang di rumah.
Ayahnya, menegur dengan nada marah dan tegas, “heh, Yanto. Kenapa kau?, kau tak bermain dan tak kunjung keluar rumah”.
Yanto masih saja terdiam. Tapi, kini dia menundukkan kepala.
“Sana, bantu Ibumu!!”, lanjut dan perintah ayahnya.
Melihat ayah yang sudah mulai marah dan geram, Yanto segera pergi keluar rumah tanpa mengindahkan perintah ayahnya.
Diluar, Yanto terus berjalan menyusuri jalanan, memandangi kendaraan berlalu-lalang, meresapi suara klakson kendaraan yang bergantian. Sampai... berhentilah jiwa dan raganya disebuah toko buku.
Mata Yanto memandangi ribuan buku yang berjajar rapi. Mulai dari buku yang tebal sampai dengan buku yang tipis, dia pandangi.
Mulai detik itulah, Yanto membaca... dan membaca. Tiap hari dalam sebulan liburan itu, hampir dia habiskan waktunya untuk membaca.
Soekarno, Mahatma Gandhi, Aristoteles, Marx, Sudjiwo Tejo dan tokoh-tokoh lainnya, hampir semua dia baca.
Sebulan waktu liburan itu berlalu, sekolahpun mulai masuk. Para siswa, dengan wajah berseri-seri saling sapa satu sama lain. Wajah berseri-seri itu mengatakan bahwa mereka menikmati liburan. Tentunya, mereka membawa tugas yang sebulan lalu diberikan oleh Gurunya.
Cerita itu diawali oleh Irul yang ditunjuk oleh bu Ratna.
“Irul, kemana kamu menghabiskan waktu liburanmu?”, tanya bu ratna.
Irul, tanpa berpikir panjang, segera bercerita tentang rumah nenek dan Ancol di Jakarta. Selepas Irul bercerita, kini giliran Rudi mengambil alih hak suara. Rudi dengan lantang memaparkan pulau Dewata, tentang turis-turis yang berjemur. Dan, tak lupa, tentang Nusa Dua.
Siswa-siswa yang lain bergiliran bercerita satu persatu. Cerita tentang liburan, tentang kemana mereka berlibur.
“Nah, anak-anak... siapa diantara kalian yang belum bercerita?”
Salah satu dari para siswa, menyeletup. “Yanto, bu”.
Siswa itu menyebut nama Yanto dengan sangat keras sekali. Tapi, siswa itu bukan Rudi, juga bukan Irul.
Si Rudi berbisik kepada Irul, “ah, kena dia rupanya, sekarang apa yang akan diceritakannya. Dasar anak tukang sayur”.
“Ya, betul Rud. Paling-paling dia akan cerita tentang sayur”.
Irul dan Rudi tertawa kecil. Menertawakan Yanto yang tak kunjung membuka mulutnya dan bersuara.
“Yan, Yanto, nak. Silahkan, ceritakan kepada teman-temanmu, kemana saja kau berlibur!”. Rayu bu Ratna.
Semua mata masih tak mau beranjak dari wajah Yanto. Namun, Yanto yang tadinya diam, kini dengan percaya diri berdiri menyapa bu Ratna dan teman-temannya.
“Baiklah bu dan teman-teman semua”.
Rudi dan Irul terkaget, mereka berdua tak menyangka anak tukang sayur itu mau bercerita.
“Saya tidak keman-mana, saya hanya pergi berjalan mengunjungi sebuah toko buku. Tapi, dari toko buku itulah, saya pergi ke beberapa negera seperti India, Yunani, Jerman dan keliling Indonesia”.
Dari buku-buku yang dia baca, Yanto keliling dunia. Dia bercerita tentang Spanyol, Amerika dan banyak lagi negara lain kepada bu Ratna dan teman-temannya.
Di akhir cerita yang disampaikan, teman-teman Yanto memberikan tepuk tangan meriah. Ya, kemeriahan tepuk tangan itu membahasakan dan sekaligus menjadi tanda bahwa kemenangan di pihak Yanto.
Yogyakarta, 01 Oktober 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun