Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bias Undang-undang Pornografi: Perlindungan atau Jebakan?

30 Desember 2020   12:47 Diperbarui: 30 Desember 2020   16:53 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelahiran UU Pornografi sebenarnya didasarkan atas tujuan yang bernalar, yakni memperjelas tindak pidana pornografi yang tidak diwadahi dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Hal tersebut terjadi karena adanya perubahan, khususnya dalam bidang teknologi, yang memungkinkan akses menuju tindak pornografi menjadi beragam. Selain itu, fondasi adanya UU Pornografi ini juga berasal dari ranah moral, seperti memiliki etika, berakhlak mulia, menghormati sesama manusia, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah pengajuan, diskusi alot, dan pengesahan UU Pornografi pada 2008, beberapa kasus langsung terjerat mudah dengan Undang-Undang ini. Dari mulai kasus prostistusi daring, pesta gay, hingga penyebaran video dan chat pribadi, dapat diselesaikan dengan Undang-Undang ini. Meski UU Pornografi ini sempat tersangkut di MK atas gugatan kasus video porno, MK pun menolak gugatan tersebut. Yang mana pada kasus tersebut, pemohon yang melaporkan adanya dugaan beredarnya video atas dirinya justru ditetapkan sebagai tersangka karena menyediakan diri sebagai objek pornografi. Alih-alih mengadu agar mendapat perlindungan, pemohon justru dijebloskan ke penjara. Hmm, kok gitu, ya?

Walaupun kehadiran UU Pornografi didasari niatan yang sangat mulia, keakuratan bunyi pasal per pasalnya merupakan suatu hal esensial yang harus sejak awal dipikirkan. Hal tersebut dilakukan agar niatan dan tujuan dapat terealisasi secara maksimal. Namun, kenyataannya, masih ada bias dalam UU Pornografi, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Definisi Rancu Pornografi

Definisi merupakan rumusan fundamental yang menjadi konsep dalam suatu permasalahan. Dalam UU Pornografi Pasal 1 dijelaskan bahwa pengertian pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi sesksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Sementara, pengertian "kesusilaan" tidak dijelaskan. Hal ini tentu saja berdampak pada kebutaan standar yang digunakan dalam mengategorikan pelanggaran kesusilaan dalam masyarakat.

Dalam KBBI V, dipaparkan bahwa kesusilaan bermakna pengetahuan tentang adap, sopan santun. Nah, "kesusilaan" masuk dalam ranah moral yang definisinya luas, multitafsir, dan subjektif. Pasal ini sangat berpotensi menimbulkan permasalahan. Salah satu permasalahan yang bisa terjadi adalah tidak adanya kepastian hukum karena dapat memancing penafsiran yang taksa dalam implementasinya.

2. Tumpang Tindih Elemen Tindak Pidana dan Pelaku Pornografi

Dijelaskan dalam Pasal 39 UU Pornografi bahwa tindak pidana pornografi merupakan tindak kejaharan dengan adanya unsur kesengajaan atau atas persetujuan diri (Pasal 8). Dalam KBBI V, pengertian "sengaja" adalah direncanakan, memang diniatkan, tidak secara kebetulan. Dengan demikian, jelas bahwa frasa "dengan sengaja" sangat subjektif dan JPU (Jaksa Penuntut Umum) wajib membuktikan elemen kesengajaan tersebut.

Diperjelas dalam Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi bahwa ada banyak elemen tindak pidana pornografi, yakni (a) memproduksi, (b) membuat, (c) memperbanyak, (d) menggandakan, (e) menyebarluaskan, (f) menyiarkan, (g) mengimpor, (h) mengekspor, (i) menawarkan, (j) memperjualbelikan, (k) menyewakan, (l) menyediakan, (m) meminjamkan atau mengunduh, (n) memperdengarkan, (o) mempertontonkan, (p) memanfaatkan, (q) memiliki, (r) menyimpan, (s) mengajak, (t) membujuk, (u) memanfaatkan, (v) membiarkan, (w) melibatkan anak, dan (x) menyalahkan kuasa. Jika diteliti, ada pengertian yang tumpeng tindih, misalnya memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan. Dampaknya dalam suatu kasus adalah dapat dijerat lebih dari satu perbuatan pidana yang tentu saja akan berpengaruh pada penerapan aturan hukum.

Selain itu, terlihat dalam Pasal 1 Nomor 3 bahwa setiap orang yang dimaksud dalam UU Pornografi adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Pengertian taksa dalam frasa "setiap orang" juga membuat ketidakjelasan baru. Artinya, tidak ada sekat tegas antara pelaku tindak pidana pornografi dan  korban tindak pidana pornografi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun