Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Surat Untuk Kartini", Perlawanan Perempuan terhadap Stigma

21 April 2020   19:36 Diperbarui: 21 April 2020   19:40 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MNC Picture via celebrity.okezone.com

Oleh Anung Anindita

Bulan April selalu mengajak setiap insan untuk mengingat sosok perempuan dengan segala jasanya untuk kuatnya perempuan, R.A. Kartini. Tidak heran banyak karya sastra lahir dan terinspirasi oleh kisah perjuangannya. Salah satunya adalah film dengan director Azhar Kinoi Lubis dan writer Toha Essa yang berjudul "Surat untuk Kartini". Meskipun sebagian besar kisah yang disuguhkan adalah tentang Kartini, sudut pandang yang dari seorang postman menjadikan film ini berbeda dan menarik untuk disaksikan.

Dalam film ini diceritakan seorang pengantar surat bernama Sarwadi yang diperankan oleh Chicco Jerikho yang hidup bersama putri cantik satu-satunya, Ningrum. Mereka hidup sebagaimana kehidupan masyarakat Jawa tahun 1901. 

Sarwadi yang kuat memegang peran ayah yang mengayomi putri kecilnya dan Ningsih dengan segala kesibukannya di dapur menggantikan peran ibu yang tidak pernah ia pelajari, bahkan saat pertama kali membuka mata di dunia. 

Kisah mereka hangat dalam kesederhanaan. Hingga akhirnya, perjalanan si pengantar surat sampai di rumah seorang Bupati Jepara. Di sanalah, pertahanan cintanya jatuh pada seorang gadis bernama Kartini.

Perasaan yang dibawa Sarwadi ditampar keras oleh Mujur, sahabatnya, dengan alasan realita bahkan tidak akan mengamini. Namun, Sarwadi tidak lantas langsung redup memperjuangkan cinta beda kastanya itu. Seiring bergantinya hari, Sarwadi semakin terinspirasi oleh gadis yang dicap masyarakat di sana sebagai gadis aneh. 

Sarwadi pun memberanikan diri bertatap muka dengan Kartini dan mengutarakan inginnya agar kelak Ningrum bisa pandai seperti Kartini. Tanpa ragu, Kartini pun mengiyakan diri mengajari Ningrum dan teman-teman Ningrum belajar. Tekad kuatnya tentang perempuan dan kesetaraan mendorongnya melakukan sesuatu meski kecil sekalipun.

Hari pertama belajar dengan Kartini, Ningrum hanya datang seorang diri. Ia pun lugu berceloteh ihwal teman-temannya tidak bersamanya. "Orang tua mereka takut jika anak-anak mereka seperti Kartini karena terlampau pintar jadi sulit jodohnya.

" Pernyataan ini tentunya masih sering dijumpai pada masa sekarang. Banyak orang yang merasa gelisah apabila anak perempuannya maju untuk pendidikannya, banyak masyarakat dengan segala pandangan negatif yang selalu ditempelkan, baik untuk perempuan yang berkarier maupun perempuan yang menjadi ibu rumah tangga. 

Seakan, masyarakat dengan segala komentarnya menginginkan peran perempuan yang begitu sempurna. Jika ada perempuan yang bekerja padahal bersuami, ia dilabeli "istri yang tidak becus mengurus keluarga". Jika ada perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga walaupun memiliki riwayat pendidikan tinggi, ia juga dikomentari "percuma sarjana kalau di rumah aja."

Dalam film tersebut, Kartini juga sempat berkata, "Jika aku terlahir 100 tahun dari sekarang, pasti banyak yang mendukung perjuanganku." Namun, ia tetap memulai sesuatu meski dukungan kepada dirinya sangat kecil untuk merealisasikan mimpinya yang begitu besar itu. 

Di sini, Kartini mengajarkan bahwa tidak akan terjadi suatu perubahan jika tidak ada tindakan. Maka, segala sesuatu harus dimulai, sekarang. Perjuangan yang susah payah dimulai pada masa lampau saja, saat ini, masih memperoleh hambatan. Hal ini berarti perjuangan untuk perempuan harus terus-menerus diperjuangkan.

Rupanya, tidak hanya Ningrum yang semakin mengidolakan Kartini, sang ayah, Sarwadi pun semakin bertahan dengan perasaannya. Dukungan Ningrum dan ayahnya sedikit banyak telah merealisasikan mimpi Kartini. Pemikiran Sarwadi tentang hakikat perempuan pun berubah. 

Kini, Sarwadi bersepakat dengan Ningrum bahwa perempuan harus pandai dan tidak boleh cepat menikah karena seperti diceritakan bahwa Sarwadi menikah dalam usia yang masih sangat muda. Padahal, sebelumnya Sarwadi berprinsip bahwa perempuan sejatinya yang bisa patuh kepada suami, lihai di dapur, dan piawai merawat anak.

Kedekatan antara Sarwadi dan Kartini yang hanya sebatas teman tentunya tidak bisa diterima begitu saja. Berbekal kebiasaan Kartini berkirim surat, Sarwadi pun menulis surat cinta untuk Kartini. 

Surat berisi hal-hal penting dalam hidup Sarwadi dan diksi indahnya yang mendeskripsikan Kartini nyatanya tidak pernah terbaca oleh Kartini. 

Hal tersebut terjadi karena Kartini harus menyetujui pinangan Bupati Rembang beristri tiga. Kenyataan inilah yang selalu dilibatkan di balik perjuangannya. "Kartini bukan pembela perempuan, buktinya dia mau dinikahi oleh pria beristri" begitulah kiranya stigma yang menempel kepada Kartini.

Seperti halnya yang tertuang dalam film tersebut, Kartini pernah berucap, "Semua orang mengira saya menyerah kepada kodrat. Iya, saya tidak mengelak, tetapi tidak semuanya benar. Saya akan menjamin anak dan cucu saya tidak mengalami nasib yang sama." 

Pernyataan ini menjelaskan bahwa ada kiranya sesuatu yang tidak bisa diubah, seperti halnya Kartini yang terlahir dari keluarga bangsawan dan segala aturan yang mengharuskan menikah dengan kasta yang sama, sehingga melahirkan pasrah. 

Namun, tekad bulatnya memperjuangkan perempuan tidak berhenti. Alasannya menerima piangan Bupati Rembang adalah karena mimpinya masih bisa terus terajut karena pemahaman mereka sama tentang perempuan.

Jika bukan karena Kartini, pemikiran-pemikiran tentang keseteraan perempuan mungkin tidak selebat ini tumbuh. Jika bukan karena pingitan dan kejaran pinangan, Kartini juga tidak akan banyak membaca dan berdiskusi. 

Semua memang sudah ada jalannya masing-masing. Jika Sarwadi tidak bisa memaksa takdir untuk mempersatukannya dengan Kartini, ia pun tidak berhak membenci dunia. 

Begitu pun Ningrum, ia tidak berhenti setelah Kartini pergi hingga lahir Kartini-Kartini baru, seperti Ningrum dan perempuan-perempuan lainnya, termasuk kita. Jangan biarkan semuanya selesai sia-sia atau kembali pada massa sebelum segalanya diperjuangkan.

Selamat memperingati hari Kartini. Harapannya adalah semakin banyak perempuan yang tidak takut melangkah maju untuk segala impiannya dan semakin banyak lagi perempuan yang saling menggandeng, melangkah bersama memperjuangkan perempuan dengan kerentanannya terhadap ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi. 

Tidak lupa, semoga pula semakin banyak laki-laki seperti Sarwadi yang tidak ragu mengubah pemikiran terhadap perempuan pandai, merasa wajib mendukung perempuan yang ingin maju tanpa rasa ketakutan untuk tersaingi atau terhina.

Semoga ... .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun