Oleh: Anung Anindita
Saat ini, nama Mateen begitu populer di Indonesia. Anak kesepuluh Sultan Hanssanal Bokiah yang memiliki power luar biasa di Brunei mendadak menjadi bintang di mata banyak perempuan Indonesia.Â
Paras tampan, tubuh atletis, atau hal-hal berbau fisik menjadi alasan utama para follower perempuan menjatuhkan komentar di media sosial Mateen. Hampir setiap foto yang diunggah selalu penuh oleh komentar para perempuan, bahkan berbau seksis.
Saat banyak perempuan berteriak "keseteraan" atau melakukan Woman March, menyerukan hak-hak perempuan dengan tujuan semakin kuatnya peran perempuan dalam kesetaraan, yang dilakukan perempuan lainnya justru meruntuhkan visi aksi-aksi tersebut.Â
Meskipun frasa-frasa yang dilontarkan terskesan memuji fisik Mateen, hal tersebut justru terlihat mengganggu dan norak. Pemujaan berlebihan sampai mengobjektivasi sang pangeran seharusnya tidak perlu dilakukan.Â
Kenyataan tersebut memperjelas bahwa masih banyak perempuan yang belum terbuka dengan konsep "feminisme" yang sebenarnya bisa menjadi referensi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Beberapa kesalahan pemahaman feminisme terkait fenomena maraknya komentar seksis terhadap Pangeran Mateen adalah sebagai berikut.
1) Feminisme Benci Laki-Laki dan Hanya Mendukung Perempuan
Jangan karena alasan di atas, semua perempuan lantas membela tindakan perempuan lainnya tanpa filter. Karena perempuan satu melontarkan komentar yang menjadikan Mateen sebagai objek ilusinya, lantas perempuan lainnya harus ikut tanpa mengkritik.Â
Alasannya adalah perempuan harus saling mendukung perempuan lain. Padahal, feminis tidak mendukung aksi yang menjadikan siapa pun merasa terobjektivasi oleh persona atau kelompok tertentu.
2) Feminisme Wadah untuk Perempuan Saja