Oleh Anung Anindita
Di tengah-tengah perlawanan terhadap virus pandemi, Covid-19 dan kesimpang-siuran penerimaan mahasiswa baru, tersiar pengumuman SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang merupakan salah satu akses menuju PTN impian. Dikabarkan bahwa hanya 19,7% siswa yang dinyatakan lulus SNMPTN. Selain SNMPTN, ada pula jalur lain meuju PTN, di antaranya adalah SBMPTN dan UM. Namun, pembahasan keduanya masih dalam proses sehingga belum ada keputusan resmi. Hal tersebut terjadi karena dampak atas meluasnya penyebaran virus Corona di Tanah Air.
Terlepas dari adanya privilege sekolah atas penerimaan SNMPTN yang sebenarnya masih perlu dikaji lebih lanjut, ada pula hal terkait SNMPTN yang cukup menggelitik. Hal itu adalah pemberian identitas "duta Covid" bagi pemenang SNMPTN. Mungkin, kebijakan ini terlihat biasa saja atau malah cenderung positif. Namun, jika dianalisis lebih lanjut, hal-hal semacam pemberian jabatan "duta-duta" tanpa kejelasan indikator seperti ini tidak perlu dilakukan. Beberapa alasan ketidakefektifan pemberian titel "duta Covid-19" dijelaskan dengan beberapa poin berikut ini.
1) Pemberian Zona Eksklusif
Tugas dari "duta Covid-19" adalah menyebarluaskan informasi terkait virus pandemi, Corona, di media sosial yang dimiliki. Namun, yang perlu diingat pula adalah informasi tersebut valid, bukan hoaks. Nantinya, 19,7% siswa tadi akan menyiarkan informasi yang mungkin sama atau informasi terkait Covid-19 di beberapa media sosialnya.
Kegiatan ini tentunya akan mengekslusifkan pihak tertentu. Terlebih label "duta" identik seseorang yang terbaik, khusus, perilaku ini akan menciptakan sekat. Artinya, mungkin saja akan timbul pernyataan bahwa hanya siswa SNMPTN saja yang berhak mengampanyekan penanganan Covid-19 atau ketidakpantasan siswa tertentu untuk menyebarkan informasi positif terkait Covid-19. Jadi, jika memang ada dampak positifnya, kemungkinan adanya zona ekslusif ini juga perlu dipertimbangan untuk pengambilan kebijakan selanjutnya.
2) Pemaksaan
Karakteristik setiap siswa itu berbeda antara satu dan yang lainnya. Begitu juga dalam proses tanggapan atas diberikannya titel "duta Covid-19". Pemaksaan hal berbau positif pun akan dianggap menganggu dan merusak privasi karena melibatkan media sosial yang dmiliki. Setiap orang memiliki inisiatif untuk melakukan hal-hal positif, tetapi seharusnya hal-hal semacam itu tidak dikemas dalam bentuk suatu keharusan formal yang harus dilakukan begitu saja karena keterikatan pada aturan.
3) Implementasi Tokenisme
Aspek ini sebenarnya masih berhubungan dengan poin sebelumnya. Tokenisme dapat diartikan sebagai tindakan menguntungkan pihak/ kelompok tertentu atas tingkah laku positif yang dilakukan kelompok lain. Dalam hal ini, tindakan siswa yang lolos SNMPTN akan berpengaruh kepada citra Pemerintah. Perilaku tokenisme sebenarnya masuk dalam kategori diskriminasi.