Di balik gemerlap di langit tinggi,
Ada tanah yang meregang nyeri,
Raja-raja duduk di singgasana emas,
Sedang rakyat menyesap luka dari segelas perih.
Di jalanan berlumpur, takdir terbelah,
Deru mesin menggilas mimpi yang payah,
Sementara istana tertawa dalam pesta,
Suara tangis tenggelam dalam pesta megah.
Ketimpangan bagai jurang yang merentang,
Antara piring kosong dan meja yang riang,
Di mana si kaya berlayar di lautan sutra,
Dan si papa berkubang di lumpur dosa dunia.
Janji-janji berhamburan, manis di bibir,
Namun kenyataan hanyalah bisikan getir,
Keadilan diarak seperti boneka renta,
Terseok-seok di bawah bendera fana.
Di sini, kita melihat langit yang sama,
Namun hujan emas hanya untuk yang berkuasa,
Sementara di sudut-sudut gelap,
Ada yang diam, memeluk rapuh nasib yang terkapar.
Maka, sampai kapan nyala api ini akan padam?
Sampai kapan derita harus kita dendam?
Tak ada suara, hanya angin yang lirih berucap,
Bahwa suatu saat, mungkin, kita akan bangkit dari gelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H