Teaching is not a profession, it is a passion. (Unknown)
Jika suatu bangsa mau maju, pendidikan harus jadi nomor satu. Seperti Jepang yang baru saja luluh lantak dihantam bom atom Hiroshima-Nagasaki, yang jadi prioritas pemimpinnya adalah ketersediaan guru. Layaknya jiran serumpun Malaysia yang dahulu mengirim para calon cikgu belajar ke Indonesia, kini mereka menjadi salah satu jawara pendidikan tempat sarjana kita menyelesaikan doktoral.
Republik ini sebenarnya sudah berbenah. Konstitusi telah mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20% setiap tahunnya. Ini angka fantastis. Guru-gurupun disertifikasi dan diberi tunjangan yang memadai, sehingga saat ini lulusan terbaik universitas bersemangat menjadi tenaga pendidik. Tidak seperti dekade lalu, dimana profesi mulia ini dianggap pilihan terakhir. Kini para juara berebut menjadi pencerah masa depan negara ini.
Namun, mendidik bukanlah pekerjaan mudah. Ada banyak lika-liku di dalamnya. Dan ini tidak bisa selesai hanya dengan kerja-kerja pemerintah. Percayalah bahwa pemerintah tak akan pernah bisa menyelesaikan tugas membangun pendidikan ini sendiri, melainkan harus ada peran serta masyarakat. Hal inilah yang dilakoni Tanoto Foundation. Dengan niat tulus membangun Indonesia, lembaga yang diinisiasi pengusaha Soekanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto ini turut berkontribusi memajukan dunia pendidikan kita melalui program pelatihan untuk guru. Inilah bagian dari filantropi pendidikan, tanggungjawab sosial masyarakat yang hendak diemban Tanoto Foundation dan para mitranya.
Buku berjudul Menjadi Sekolah Terbaik: Praktik-Praktik Strategis dalam Pendidikan merupakan dokumentasi perjalanan program pelatihan guru yang difasilitasi Tanoto Foundation ini. Isinya secara gamblang mengupas ragam persoalan pendidikan kita. Mulai dari problem kesenjangan antara sekolah kaya dan miskin, kesenjangan kekuasaan dan kewajiban negara hingga otonomi daerah menjadi dilema.
Selain itu, buku setebal 188 halaman ini secara runut membahas bagaimana cara menjadi sekolah terbaik. Mulai dari memetakan kondisi dan posisi sekolah, apakah termasuk sekolah yang “memimpin”, “beruntung”, “belajar” atau justru yang “kalah”. Setelah itu pembaca dipandu untuk merumuskan visi dan misi sekolahnya bukan hanya sebatas slogan tapi juga bagaimana metode mengaplikasikannya. Para kepala sekolah kemudian dituntun untuk menerapkan kepemimpinan yang transformatif dimana jiwa dan pikiran harus progresif dan dinamis sehingga terus bergelora untuk menyongsong perubahan. Ditambah dengan teknik manajemen berbasis sekolah yang efektif menjadikan buku ini kian lengkap nan komprehensif.
Tak hanya itu, bagian paling menarik dari buku ini justru ada di bab-bab terakhirnya. Seperti yang diungkap Prof. Dr. Fasli Djalal, Ph.D dalam sambutan buku ini, ”Inspirator dan motivator kita itu bukan siapa-siapa, melainkan para tokoh pendidikan yang sepi dari pemberitaan, yaitu guru dan kepala sekolah di daerah pedalaman.” Maka mulai bab 8 hingga 13 kita diajak menyelami perjuangan para guru dari segala penjuru. Dari tempat-tempat yang jauh dari kebisingan kota dan pandangan mata. Dari daerah-daerah yang namanya –mungkin- tak tercantum dalam peta.
Salah satu yang begitu menginspirasi adalah cerita Ibu Suci, guru SMPN 1 Sesayap, Kalimantan Timur. Pada tahun 2006, gajinya sebulan hanya Rp. 100.000,-, padahal sewa kamarnya (baca: bukan rumah!) saja sudah Rp. 150.000,- per bulan. Mendapat gaji minim, tak membuatnya surut. Justru dengan keterbatasan itu ia terpacu untuk lebih berprestasi. Iapun terpilih menjadi salah satu dari 5 guru terbaik dari Lokakarya Pengembangan Profesionalisme Guru dan Kepala Sekolah oleh Tanoto Foundation. Subhanallah. Inilah harga sebuah keikhlasan dan pengorbanan.
Buku ini memang sangat layak menjadi acuan dan referensi untuk mengembangkan diri, khususnya bagi para sekolah, guru dan siapapun yang peduli terhadap dunia pendidikan. Saya beri bintang 4 untuk buku ini. Meski bab-bab awalnya terasa agak berat dengan hiasan “bahasa-bahasa intelektual” (maklum, ditulis oleh para profesor dan doktor), tapi selanjutnya narasi buku ini mengalir lancar. Recommended sekali untuk guru-guru yang hendak meng-upgrade kapasitas dirinya. Percaya tak percaya, buku ini membuat saya percaya bahwa Pak Harfan dan Bu Muslimah bukan hanya ada dalam kisah Laskar Pelangi Andrea Hirata, melainkan ia bertaburan di seluruh nusantara. Percayalah, sekolah impian bukan mimpi. Asal ada ikhlas di hati, asal selalu tulus dalam meniti.
Selamat membaca!
Judul Buku: Menjadi Sekolah Terbaik: Praktik-Praktik Strategis dalam Pendidikan
Penulis: Anita Lie, Takim Andrisono dan Sarah Prasasti
Tebal: iv + 188 halaman
Penerbit: Tanoto Foundation dan Raih Asa Sukses (RAS)
Cetakan: Pertama, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H