[caption caption="freedomoutpost.com | RyanSorba"][/caption]Dua pekan ini, isu mengenai lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) kembali mengemuka. Hal ini bermula dari sebuah poster berisi penawaran jasa konseling untuk kaum LGBT yang mengatasnamakan Support Group and Resource Center On Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC UI) beredar secara viral di dunia maya.
Tak lama kemudian, pengguna media sosial juga dihebohkan dengan akun twitter yang memuat propaganda LGBT di kalangan anak dan remaja. Meski kini akun tersebut sudah di-suspend oleh situs mikroblog berlambang burung biru itu, kekhawatiran tetap menghantui para orangtua. Apalagi akun media sosial lain yang menyuarakan kemerdekaan bagi kaum Sodom itu masih aktif dan mempunyai ribuan pengikut.
Gerakan LGBT global mendapat angin segar pasca keluarnya putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang melegalkan perkawinan sejenis di seluruh negara bagian AS pada tanggal 27 Juni 2015. Negara Paman Sam ini menyusul Prancis, Jerman, Vietnam dan Israel yang telah lebih dahulu mengakui LGBT. Sontak kontroversi meruak di berbagai penjuru dunia. Para pendukung kaum Luth ini merayakannya dengan gegap gempita. Bahkan Marck Zuckenberg, sang pemilik Facebook memfasilitasi pengguna situs itu dengan fitur foto profil berwarna pelangi sebagai simbol kemenangan komunitas LGBT.
Sebelumnya, dunia baru saja digemparkan dengan kabar hasil referendum di Irlandia. Negara dengan mayoritas penduduk Katolik memutuskan untuk melegalkan perkawinan sejenis. Selain itu pada tahun 2013, dalam catatan Adian Husaini, Katedral Nasional AS untuk pertama kalinya melaksanakan ritual perkawinan sejenis. Jauh sebelum itu, tahun 2003, dunia digemparkan peristiwa terpilihnya Gene Robinson sebagai Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Itu untuk pertama kalinya seorang pelaku homoseksual menduduki jabatan tertinggi dalam hirarki gereja selama 2000 tahun sejarah Kristen. Sebab, secara tersurat ketetapan Bibel (Imamat, 20:13), sangat jelas: pelaku praktik kawin sejenis wajib dihukum mati.
Semua kabar ini tentu saja harus disikapi dengan cermat. Kita tidak boleh diam atau seolah tak mau tahu. Di depan mata sudah nyata, harus ada penanganan serius yang segera. Sebab, jika didiamkan masa depan bangsa akan terancam. Menurut Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Bachtiar Nasir, masyarakat Indonesia harus sadar ada bahaya besar yang mengancam bangsa ini bila sudah terlalu toleran dengan perilaku LGBT. “Belajar dari sejarah, agama menyebut kaum Sodom dilaknat Tuhan hingga hancur. Kita harus yakin pasti ada bencana besar bila LGBT ini dibiarkan.” (republika.co.id, 25/1/16).
Sayangnya, promosi LGBT masih sangat massif disuarakan sejumlah tokoh dan LSM. Bahkan salah satu lembaga di bawah naungan PBB yaitu UNDP mempunyai program bernama Being LGBTI in Asia. Dengan sokongan dana hingga 8 juta dollar dari USAID, program ini berfokus di Tiongkok, Thailand, Filipina dan Indonesia. Sebagaimana ditulis di sini, program ini bertujuan untuk meminimalkan kendala agar LGBT bisa diterima di tengah masyarakat.
Sampai akhir 2013 terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang menaungi 119 organisasi di 28 provinsi. Pertama, yakni Jaringan Gay, Waria, dan Laki-Laki yang Berhubungan Seks dengan Laki laki Lain Indonesia (GWLINA) didirikan pada Februari 2007. didukung organisasi internasional. Jaringan kedua, yaitu Forum LGBTIQ Indonesia, didirikan pada 2008.
Runtuhnya Pembelaan LGBT
Dalam menyuarakan aspirasinya, ada sejumlah isu yang diangkat para pembela LGBT. Salah satu yang paling populer adalah Hak Asasi Manusia. Mereka mengklaim bahwa menjadi LGBT adalah hak asasi mereka yang harus dilindungi oleh negara. Benarkah demikian? Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution mengatakan pasal-pasal dalam DUHAM ada yang ketat dan longgar. Contohnya pasal 16 DUHAM tentang hak untuk menikah dan berkeluarga. Dalam pasal itu tidak ada indikasi diperbolehkannya perkawinan sejenis. “Oleh karena beberapa sifatnya yang longgar, negara pihak seperti Indonesia tidak secara seluruhnya mengikuti isi setiap pasal dari DUHAM PBB walaupun Indonesia telah meratifikasinya,” ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (25/1). Semua isi pasal tersebut harus disesuaikan dengan hukum nasional dan kondisi negara Indonesia sendiri.
Tentu saja, sebagai negara berasas Pancasila yang poin pertamanya tegas menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa akan menolak praktik tercela ini. Tidak ada satupun agama yang membolehkan perilaku seks menyimpang ini. Apalagi bagi republik kita yang merdekanya atas berkat rahmat Allah ini. Kalau dengan dalih HAM LGBT dilegalkan, maka penyakit sosial seperti adiksi narkotika, pedofilia, naturalis (suka telanjang) dan eksibisionis (suka pamer organ reproduksi) juga akan menuntut hal yang sama.
Alasan kedua, mereka mengklaim bahwa LGBT bukanlah penyakit/penyimpangan melainkan suatu hal yang biasa dan wajar. Selama ini mereka bersikukuh menyebarkan opini bahwa praktik homoseksualitas dalam berbagai variannya adalah sesuatu yang manusiawi dengan bersandar kepada beberapa penelitian yang diklaim ilmiah. Mulai dari Magnus Hirscheld dari Jerman pada 1899, yang menegaskan bahwa homoseksual adalah bawaan. Lalu disusul oleh Dr.Michael Bailey dan Dr.Richard Pillard pada tahun 1991.