Konflik klasik Sunnah-Syiah pecah kembali. Kerusuhan antar kelompok lagi-lagi terjadi di Sampang, Madura. Lantas kemudian isu ini menjadi bahasan utama di mana-mana. Talk-show televisi, perbincangan di radio, headline media massa cetak dan trending topic di jejaring sosial.
Semua bicara kasus Sampang. Tapi nyaris tak ada yang menyentuh ke akar persoalan, ke masalah substantif penyebab konfilk. Termasuk orang-orang yang mengaku aktivis LSM dan budayawan. Ngomongnya ngasal. Isu yang dibahas kebanyakan terlalu bias: kultur orang Madura yang keras, konflik keluarga, kemiskinan dan kegagalan Badan Intelijen Nasional mengantisipasi. Semua ini tak bisa dinafikan, tetapi tetap saja belum menjawab inti permasalahannya. Bahkan di Facebook dan Twitter, orang-orang yang cuma baca berita running text televisi dan judul berita situs tertentu secara sembrono berkomentar: "Mengapa kita tidak bisa bersatu?", "Mengapa kita tidak bisa menghargai perbedaan?", "Kita kan sama-sama Indonesia? Di mana nasionalismemu?", "Lagi-lagi SARA, mengapa kita tak mampu jadi bangsa yang toleran?"
Hidih. Sepertinya bijak sekali komentar-komentar itu. Terpuji sekali niat baik orangnya. Namun itu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru memancing kemarahan baru, memprovokasi kembali, memanas-manasi api yang nyaris redup di dada hingga nyala kembali. Sebab dari banyak pemberitaan, fokusnya hanya pada "pemukiman warga Syiah di Sampang habis dijarah dan dibakar." Padahal beritanya tidak cover both side. Tidak memenuhi etika jurnalistik.
Adanya berita penjarahan warga sunni Sampang terhadap warga Syiah dibantah KH Ali Karrar Sinhaji, Pimpinan Ponpes Daruttauhid, Pamekasan. “Isu jarahan dan blokade itu sama sekali tidak benar!”, tegasny. (http://www.hidayatullah.com/read/24473/28/08/2012/kiai-madura-tolak-berita-adanya-penjarahan.html)
Bahkan menurut Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA), justru ada pelemparan bom molotov oleh warga Syiah. Dan ini semua berakar dari masih disebarluaskannya paham Syiah di Madura yang sudah difatwa sesat oleh MUI Jatim. (http://www.hidayatullah.com/read/24465/27/08/2012/kronologis-kasus-sunni-syiah-sampang-temuan-ulama-bassra.html)
Sayangnya memang media hanya bisa memanas-manasi isu SARA ini. Sama seperti kasus Ahmadiyah, isunya adalah ketertindasan minoritas. Seolah-olah umat Islam ahlussunnah wal jama'ah adalah teroris radikal yang tidak bisa menghargai perbedaan, tidak toleran, tidak siap hidup dalam kemajemukan. Makanya kemudian, MUI Jatim jadi gerah dengan pemberitaan media yang malah memancing kekerasan baru. (http://www.hidayatullah.com/read/24474/28/08/2012/mui-jatim:-jangan-ada-kekerasan,-jangan-pula-memancing-kekerasan.html)
Oke, kekerasan -entah itu pembakaran atau apa- adalah tindakan kriminal. Silakan dibuktikan dan diproses sesuai hukum. Namun jikapun benar perbuatan melanggar hukum itu dilakukkan warga Sunni Madura, niscaya itu tetap akan terjadi lagi. Sebab ini masalah laten karena perbedaan aliran antara Sunni dan Syiah.
Wajar kalau kaum Sunni gerah kepada kaum Syiah, karena mereka kerap kali menyebarluaskan pemahaman ekstrim yang bahkan menyimpang dari akidah Islam. Di antaranya adalah kegemaran mereka melakukan caci maki terhadap para sahabat nabi radhiyallahu anhum dan istri Nabi, Aisyah. Sementara, penghormatan terhadap istri dan sahabat Nabi merupakan bagian dari ajaran Islam yang pokok.
Dalam ajaran Islam, jelas telah menjadi ijma' ulama bahwa seluruh sahabat Nabi adalah adil dan haram hukumnya mencari mereka. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama yang istiqamah dari berbagai mazhab: Ibnu Katsir, Ibnu Abdil Barr, Khatib Al-Baghdadi, Ibnu Taymiyyah dan masih banyak lagi. Dalilnya dari hadits, "Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia." (Riwayat Tabrani). Bahkan Imam Malik mengkafirkan kelompok yang membenci para sahabat Nabi ini. Tak heran jika di Mesir, pada bulan Juli 2012 lalu, Harian Egypt Independent memberitakan hukuman penjara 1 tahun dan denda 16.458 Dollar kepada Muhammad Fahmi, seorang pemuda- akibat melakukan penghinaan kepada sahabat dan menyebarkan doktrin Syiah.
Ini baru satu perkara. Belum lagi mengenai keyakinan ulama Syiah bahwa Al-Qur'an telah mengalami tahrif (distorsi). Hal ini disampaikan berbagai ulama Syiah dalam berbagai kitab di antaranya An-Nuri Ath-Thabarsi. Selain itu ada kitab Al-Kafi karya Abu Ja'far Al-Kulaini yang diklaim sebagai kitab hadits paling sahih dengan riwayat mutawattir yang menegaskan bahwa tak ada yang mengumpulkan dan menghafal Al-Qur'an sebanyak dan sebaik Ali bin Abi Thalib dan imam-imam setelahnya atau para imam yang telah mendapat wasiat. Jumlah ayatnya adalah 17 ribu ayat yang hilang bersama Al- Mahdi ke-12 dan baru hadir lagi saat beliau kembali dari ghaybah-nya.
Maknanya, mereka menuduh Al-Qur'an yang dipakai ummat Islam hari ini sudah tidak asli lagi, tidak suci lagi.
Wajarlah kaum muslimin geram jika para sahabat Nabi disebut melakukan "black-campaign" kepada Ali bin Abi Thalib dengan mencerca Ali selama 80 tahun di 70 ribu mimbar setiap saat khutbah jum'at. Ah, logika saja tidak mungkin umat Islam diam jika sahabat Ali, salah satu khulafaurrasyidin dijelek-jelekkan di depan publik.