Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Pilih Caleg Perokok

11 Maret 2014   19:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:03 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu semakin dekat. Kampanye caleg semakin dahsyat. Alat peraga kampanye menyesaki ruang-ruang kota hingga pelosok desa. Namun masyarakat semakin bingung. Masih banyak pemilih yang belum punya pilihan. Survei terakhir yang dilakukan sebuah harian nasional menunjukkan, angka pemilih yang belum menentukan pilihannya mencapai 40 persen. Sementara itu, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencapai 28,9 persen dan survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat angka 48 persen.

Oleh karenanya, saya to the point saja menyerukan kepada para pembaca baik yang sudah punya pilihan maupun yang masih ragu-ragu untuk TIDAK MEMILIH CALEG PEROKOK. Apa pasalnya? Simple saja, Anda tentu menginginkan parlemen diisi oleh orang-orang yang peduli, toleran, pejuang hak asasi dan berani memperjuangkan aspirasi, bukan? Hal itu tak akan Anda temukan pada seorang perokok. Bagaimana penjelasannya?

Pertama, seorang perokok TIDAK PEDULI dan TOLERAN. Kesehatan dirinya tak dihargai. Anak dan istrinya tak disayangi. Setiap hari kepulan asap terhirup ke paru-paru keluargnya. Menambah investasi penyakit dalam tubuh orang yang seharusnya ia sayangi. Apalagi orang lain? Mana mungkin dia pedulikan. Padahal perokok pasif itu lebih mematikan ketimbang perokok aktif. Bahkan third hand smoke juga tak kalah bahayanya. Maksudnya permukaan benda-benda yang bersinggungan dengan perokok juga mengandung residu yang sama bahayanya dengan para perokok pasif. Meja, lantai, dinding, tempat tidur… Ah, kasihan istri para perokok dan bayi-bayinya…

Konon lagi bicara hak asasi. Ah, sudahlah. Cukuplah kita tahu bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan udara yang bersih. Dalam UUD 45 Pasal 28H (amandemen 2) disebutkan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Merokok boleh-boleh saja, tapi asapnya cukuplah dinikmati sendiri. Jangan sampai orang lain dipaksa menerima racun. Jumlah kematian akibat rokok jauh lebih tinggi daripada mereka yang mati karena alkohol dan ganja. Bukankah para perokok sebenarnya adalah para pembunuh?

Kedua, seorang perokok pikirannya TIDAK MERDEKA dan BERANI. Mengapa? Ya, karena mereka tunduk pada nafsunya setelah terkena adiksi nikotin. Walau sudah tahu rokok itu membunuh, tetap saja dihisapnya. Meski paham bahwa rokok itu menyebabkan impotensi, gangguan kehamilan dan janin, mereka keukeuh mengonsumsi racun itu. Mereka pun sadar bahwa rokok adalah pangkal jalan menuju narkoba.

Padahal mereka tahu bahwa rokok mengandung 4000 zat kimia, 400 di antaranya tergolong racun yang berbahaya bagi manusia dan 46 jenisnya merupakan karsinogen (penyebab kanker). Tapi mereka tak bisa berkutik karena candunya rokok. Akal tidak lagi bekerja. Meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) saja tak berani. Meneken Perda Kawasan Tanpa Rokok takut-takut.

Berbagai dalih coba dimunculkan. Beragam pembenaran dikemukakan. Dihembukanlah mitos bahwa jika rokok dibatasi, petani tembakau akan merugi dan hilang tempat cari makan untuk anak bini. Faktanya? Sejak 1960, luas lahan pertanian tembakau hanya 3% dari total lahan tani produktif. Tapi produksi rokok meningkat 10 kali lipat hingga mencapai 332 miliar batang per tahun (2013). Jadi, dari mana semua tembakau itu? Tepat sekali: IMPOR! Data lain, setelah dibeli Philip Morris, Sampoerna sanggup meraup laba bersihnya melonjak 386,49% menjadi 112 miliar rupiah. Fantastis sekali bukan? Tapi bagaimana nasib petani tembakau? Hehe.. sudah saya bilang industri rokok tak berkorelasi positif pada kesejahteraan petani.

Bahkan sejumlah orang yang digelari kyai hanya berani memfatwa makruh. Tak berani bersikap tegas pada senjata pemusnah massal ini sebab merekapun sudah terjangkit candu. Hal inilah yang disindir penyair senior Taufiq Ismail dalam puisinya “Tuhan Sembilan Senti”.

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.

15 penyakit ada dalam daging khinzir. Daging khinzir diharamkan.

4.000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alaihimul khabaa’its.

Begitulah dahsyatnya rokok menumpulkan logika para pengisapnya. Memperjuangkan diri sendiri saja tak berani, apalagi menolong kita yang bukan siapa-siapanya?

Mungkin sebagian orang menuduh saya sedang melakukan black campaign. Tidak. Saya hanya ingin parlemen diisi oleh orang-orang yang pikirannya masih merdeka. Mungkin ada pula yang mengatakan saya membenci perokok. Tidak. Saya justru kasihan, karena pada dasarnya mereka adalah korban adiksi (kecanduan) yang belum mampu melawan.

Ingin parlemen diisi orang yang peduli, toleran, merdeka dan berani? Jangan pernah pilih caleg perokok untuk DPR Lebih Baik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun