Belakangan ini, arus penyebaran berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian (hate speech) kian deras. Pemerintah pun tidak tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari edukasi ke masyarakat hingga penegakan hukum. Tak sedikit warganet yang diciduk karena disangka melanggar UU ITE. Berbagai forum anti hoaks juga menjamur di dunia maya. Jangkauannya bahkan menggema hingga ke daerah-daerah di penjuru Nusantara.
Ini tentu menggembirakan sekali di tengah fakta rendahnya indeks literasi Indonesia (rangking 60 dari 61 negara) yang berbanding terbalik dengan penggunaan gawai (gadget) dan media sosial yang berdasar lembaga riset pasar Comscore mencapai 63,6 juta pengguna per Januari 2017.Â
Sayangnya, langkah perang terhadap hoaks ini dicemari oleh proses penindakan yang terkesan tebang pilih. Kita tentu bersyukur jejaring Saracen yang konon disponsori oleh para politisi busuk berhasil dikuliti polisi. Sejumlah situs juga pernah diblokir Kemenkominfo. Namun yang menyedihkan adalah ketika sebuah situs berita yang nyata-nyata menyebarkan kebencian dibiarkan eksis begitu saja mendistribusikan kebencian kepada kelompok tertentu.Â
Adalah Seword, nama situs yang menjadi buah bibir tersebut. Sekitar awal Februari 2017, situs tersebut sudah dilaporkan LBH Perindo ke Polda Metro Jaya. Sebabnya, dalam artikel berjudul "Bukti Anies Jatuh Dalam Kubangan Setan" di website tersebut disebutkan bahwa Partai Perindo ditunjuk untuk mendistribusikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) sewaktu Anies Baswedan masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ricky membantah jika Partai Perindo terlibat dalam pendistribusian KIP yang merupakan salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Partai Perindo sendiri sudah resmi menyangkal isu tersebut. Namun hingga kini, situs tersebut masih bebas berkeliaran menawarkan wacana piciknya.
Situs yang tak mencantumkan susunan dan alamat redaksi pada lamannya tersebut, malahan menyelenggarakan lomba menulis "Pencapaian Jokowi" berkerjasama dengan Seknas Jokowi dan seakan mendapat restu dari Wantimpres dengan memberikan sertifikat yang ditandatangani Sidarto Danusubroto kepada seluruh peserta lomba. Salah satu jurinya juga merupakan Deputi IV Kantor Presiden, Eko Sulistyo.
Memang, situs yang isinya ini penuh sanjung puja kepada Presiden Jokowi serta mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama ini sudah berulangkali membuat ulah. Sebelumnya, fitnah pernah dialamatkan kepada Ketua Umum MUI, KH Makruf Amin. Seword secara keji menuduh beliau sebagai "munafikun". Tulisan ini memang kalau kita lacak via mesin pencari sudah tidak ketemu. Kemungkinan besar dihapus oleh admin. Namun ada sejumlah situs yang sudah telanjur mereproduksinya seperti ini. Â Dalam tulisan lain, malahan masih nangkring dengan gembira di situs ini, tuduhan yang menyebut Kyai Makruf sebagai "antek SBY".
Mulai pertengahan Oktober nanti, ASU tidak bisa diharamkan oleh siapa pun untuk memimpin DKI Jakarta. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun tidak bisa. Apalagi hanya para tukang demo. Mengingat, ASU yang berhuruf kapital telah dikenal sebagai akronim dari  Gubernur Terpilih DKI Jakarta, Anies -- Sandiaga Uno (ASU). Entah benar atau tidak, diakui atau tidak, keberhasilan ASU memenangkan pilkada DKI rupa-rupanya berkat politisasi ayat dan mayat yang akan terus menjadi hikayat kelas berat. Belum lagi kalau dikaitkan secara terstruktur jasa Saracen si pencari nafkah tak halal karena jualan isu SARA. Yah, asudahlah pokoknya.Â
Terus terang saya tak habis pikir jika situs semacam ini masih terus dibiarkan menari dan meracuni pikiran publik Indonesia. Jika cuma mengejar dollar setara puluhan juta rupiah per bulan sebagaimana laporan mendalam Tirto.id tentang situs penyebar ujaran kebencian, tentu tak sebanding dengan tercerabutnya nilai-nilai luhur bangsa ini.
Saya percaya, jika Seword tetap hidup elektabilitas Pak Presiden malahan akan anjok. Sebab, masyarakat kita akan semakin cerdas secara literasi dari hari ke hari. Meski perkembangannya perlahan, lama-kelamaan publik akan muak dengan rangkaian fitnah yang terus disemai. Apalagi semua ini semakin menguatkan friksi antara "pro Islam" versus "pro kebhinekaan". Yang benci FPI, HTI, PKS dan alumni 212 mungkin akan bersorak gembira dengan keberadaannya. Tapi sebaliknya, kelompok ummat Islam yang bersimpati pada serial aksi 212 terang menunjukkan sikap tak suka. Apakah kita akan membiarkan republik ini hanyut dalam badai perpecahan dan permusuhan?