Oleh Anugrah PrimaÂ
Hiruk pikuk dunia telah sedemikian memantaskan kita sebagai makhluk yang hampir lupa arti waktu yang sesungguhnya. Semua kita tempa demi rutinitas yang menurut kita jauh lebih penting dari apapun. Asal perut kenyang, cicilan lancar terbayar, kebutuhan tercukupi, serta keinginan tidur nyenyak menjadi harapan yang tak terbendung. Merasa bosan ? Tentu ada, namun rasa itu seakan telah menyatu dengan jiwa hingga kita pun sulit membedakan mana bosan, mana nikmat, mana ikhlas, mana terpaksa. Sibuk dengan berbagai kenyataan manis pahit plus hambarnya. Seakan raga telah diatur oleh mesin waktu yang terintegrasi dengan mesin uang sehingga kita selalu serba terburu-buru, kejar-kejaran, serta kelelahan dalam mengejar sesuatu yang membuat kita takut nggak kebagian. Waktu terasa begitu cepat secepat masa tidur kita kala malam yang kemudian menjadi cepat pagi.Â
Seketika semua berubah. Terasa lambat, sepi, hampa dan mati. Yang mulanya riuh akan tawa, tangis, suara, hentakan kaki melangkah, deru laju kendaraan, teriakan, yang kesemuanya itu menjadi sangat biasa terdengar, kini mulai surut, terlebih padam. Dunia seakan menemui babak baru dan berevolusi, namun nyaris bingung mencari solusi. Iya, COVID-19 telah hadir dan mengubah kebiasaan lama menjadi kenyataan baru yang tak terelakkan. Menjadi musuh yang sulit terlihat, namun mudah untuk menjangkit tubuh kita yang akhirnya berpenyakit. Jangankan untuk melawan, bertahan saja rumitnya bukan main. Semua bersikeras untuk membentengi diri, menutup rapat pintu agar tak kedatangan tamu yang sama sekali tak dirindukan ini. Termasuk upaya untuk tetap mendapat amunisi dengan panic buying juga sulit untuk dikendalikan. Masing-masing seperti sibuk merencanakan strategi perang yang memang kali ini memiliki lawan cukup kuat serta tim yang solid untuk berbagi tugas menuju sasaran tepat. Dialah COVID-19. Makhluk yang sedang tak mau berkompromi atau sekedar bernegosiasi sebentar saja. Dia maunya sekarang menggerogoti, sekarang menikmati, lalu cepat bikin kita mati. Waktu tak mau dia sia-siakan. Sekarang atau tidak sama sekali.Â
Corona dicaci. Dia dihujat dan dibenci. Makhluk yang dianggap musuh nomor satu saat ini. Dia yang selalu lalu-lalang dibicarakan oleh media komunikasi manapun. Kita dan corona sedang sama-sama tak mau memberi ampun.Â
Situasi semacam ini tentu tak mudah untuk kita lewati. Setiap keputusan ataupun kebijakan dari para pemimpin daerah maupun pemerintah pusat pasti menuai pro dan kontra. Ketika yang setuju dan yang tidak setuju saling bersuara entah itu pada platform media sosial manapun, alih-alih pikiran menjadi tenang untuk berdiam diri #dirumahaja, yang terjadi justru kita semakin otomatis terjangkit penyakit yang tak kalah mematikan yakni penyakit lemah mental dan psikis. Semua beradu argumen, mencela dan lain sebagainya. Terlebih kabar buruk lebih banyak kita temui daripada kabar baiknya. Ketakutan yang berlebih semakin membuat manusia membentengi diri namun dengan cara yang tidak manusiawi. Mulai dari kasus penolakan jenazah korban COVID-19, penolakan keberadaan serta kehadiran tenaga medis beserta keluarganya untuk tinggal di lingkungan masyarakat, dan berbagai permasalahan sosial lainnya. Semua berseteru, semua ingin meluapkan kemarahan, semua saling memaki, saling menuding. Â Corona pun semakin senang karena bebannya semakin ringan. Tak perlu susah payah untuk berperang melawan kita, toh kita sendiri pun juga sudah sibuk berperang antar saudara yang sebangsa.Â
Belum lagi penerapan social distancing yang berdampak pada beberapa sektor. Salah satunya adalah kita dituntut untuk menahan diri melakukan pertemuan bahkan dengan teman, kerabat atau bahkan keluarga sendiri. Kali ini bukan karena benci, tapi demi memutus mata rantai penyebaran COVID-19 yang semakin tak bertepi. Ada hati yang kemudian merindu. Rindu menjalani berbagai rutinitas yang menjadikan kita terbiasa bertemu. Ada pula yang rindu dengan suasana bekerja meski harus berjibaku dengan kotornya debu. Pun merindu tatkala mencari nafkah untuk keluarga tanpa ragu. Hingga rindu dengan aktifitas peribadatan di rumah ibadah demi bersama-sama bersimpuh serta mengagungkan nama Tuhan Yang Maha Satu.Â
Lalu, siapa yang salah ? dan siapa pula yang benar ? Apakah yang salah adalah aku ? Kamu ? Atau Corona ? Ah sudahlah, jika memang yang murni bersalah adalah si virus corona yang anti sabar ini, apakah ada jaminan kalau kita akan akur dan tak berseteru lagi ? Adakah pula jaminan kehidupan kita jauh lebih baik lagi tanpa keberadaannya ?Â
Mungkin ini semua terjadi karena Tuhan menghendaki kita lebih mawas diri, lebih mengenal kita ini siapa dan harus kemana, lebih mengubah beberapa rutinitas menjadi kebiasaan baik, lebih peka terhadap diri sendiri dan makhluk lain, lebih kreatif dan mencari banyak pintu dalam mencari solusi, lebih paham apa yang kita butuh dan apa yang orang lain butuhkan dari kita, lebih mampu memilih mana yang prioritas dan mana yang masih bisa dikesampingkan, lebih bisa bersikap waspada dan juga pantang meremehkan. Karena musuh memang tak hanya yang terlihat besar. Yang kecil pun telah mampu memutus nyawa dan mampu menjadikan kita lupa bahwa kita manusia yang wajib saling memanusiakan. Musuh kita yang satu ini tahu kita di mana, sedangkan kita tak bisa melihat di mana dia berada.Â
Sehat fisik itu penting, namun sehat secara mental, psikis dan hati juga tak kalah penting. Mari kita jaga keduanya agar selalu menemui titik harmoni. Melawan COVID-19 tak bisa hanya saling cibir di media sosial, toh faktanya si corona tak punya medsos. Tapi mari kita jadikan media sosial sebagai bagian dari alat kita untuk memeranginya dengan berbagai bentuk ketulusan dalam hal berbagi semangat, berbagi solusi, berbagi strategi, berbagi kabar baik, dan berbagi kebaikan lainnya. Bicaralah dengan bahasa kita, bahasa manusia yang tidak dipahami Corona. Bahasa yang mampu menakhlukkan dia secepatnya. Bahasa yang bisa mempersatukan meski kita terpisah oleh jarak. Bahasa yang tak melulu kamu dan aku tetapi kita. Bahasa yang mengubah sedih menjadi senyum, luka menjadi bahagia, putus asa menjadi semangat, dan menuntut menjadi penuh syukur.Â
Kepada yang telah meninggalkan kita dan menjadi korban dari COVID-19, mereka tetap menjadi orang-orang pilihan Tuhan untuk menemui-Nya karena Tuhan mungkin sudah rindu dan tak mau berlama-lama. Kepada para keluarga yang ditinggalkan, bukan berarti Tuhan tak mendengar do'anya, tetapi Tuhan mungkin sedang memuliakan mereka karena kebesaran jiwanya. Kepada yang telah kehilangan pekerjaan akibat wabah ini, mungkin Tuhan sedang merencanakan pekerjaan yang jauh lebih baik nantinya. Kepada para pencari nafkah yang sangat terhambat jalannya dan menemui masa sulit yang lebih sulit dari biasanya, mungkin Tuhan sedang memberi kekuatan yang lebih untuk bisa bangkit dari keterpurukan dan dinyatakan lulus dari ujian hidupnya. Kepada para orang tua yang menemani sang buah hati untuk sekolah di rumah, bukan berarti Tuhan ingin menambah beban, namun mungkin Tuhan sedang ingin menguatkan keterikatan cinta di antara kalian yang sarat akan panjang kesabaran. Kepada kita semua yang tak terbiasa menumpuk rindu terlalu lama, Tuhan mungkin sedang mengingatkan kita untuk lebih menghargai pertemuan yang seringkali kita anggap sebagai hal yang biasa. Kepada para tenaga medis, Tuhan juga tak bermaksud untuk memperberat tugasmu kali ini, namun Tuhan mungkin justru sedang menaikkan derajatmu dan akan mengganti kerja kerasmu dengan kemuliaan di mata-Nya.Â
Entah apapun yang sedang Tuhan rencanakan, mari kita tak berhenti untuk berpikir positif dan memberi sugesti pada diri kita tentang hal-hal baik, agar jiwa, raga dan hati kita selalu sehat. Semua memang begitu berat, tetapi pasti ada celah dimana kita harus bersyukur. Tak mudah untuk bisa bertahan, tetapi kekuatan itu pasti akan Tuhan turunkan asal kita terus berusaha dan menyambut baik segala ketetapan-Nya. Sempurnanya hidup bukan tentang  yang selalu manis dan  bukan pula yang selalu pahit, melainkan keduanya.Â